Senin, 17 Oktober 2011

ERA DIGITAL DAN AKTUALISASI NILAI (PENDIDIKAN) PESANTREN (Upaya Menyelamatkan Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren di Era Digital)


Oleh Muhammad Mihrob

A.    Pendahuluan
Di era Millenium Ketiga ini, globalisasi[1] telah menjadi perbincangan alot. Dalam persepektif Chadwick Alger, globalisasi berintikan kepada dua definisi nilai global, yakni, ‘perdamaian’ dan ‘pembangunan’, yang secara luas konsekuensinya adalah kondisi ketiadaan rasa damai (peacelessnes).[2] Sedangkan pada saat yang sama, globalisasi juga telah “memaksa” manusia untuk ber-mineset “instan”. Ini dilihat dari pergerseran gaya hidup (shifting life style) manusia, dari yang sifatnya cenderung “apa adanya” ke penggunaan perangkat teknologi secara berlebihan. Konsekuensi dari ini, manusia akan memiliki ketergantungan, karena telah menjadikan teknologi sebagai ‘dewa’.
Inilah yang kemudian disebut dengan era digitalisasi, di mana manusia menjadi apa yang disebut Paulo Freire sebagai “silent society” (masyarakat bisu) sebagai konsekuensi dari ketergantungan yang berlebihan. Suara manusia tidak lagi berasal dari lubuk hatinya, namun merupakan pantulan suara masyarakat metropolis,[3] sehingga pada akhirnya mereka (baca: silent society) terasing dari lingkungan masyakarakatnya.
Dalam bidang pendidikan, tak lepas dari wacana digitalisasi. Berbagai perubahan, baik pada manajemen (pengelolaan) maupun fasilitas yang digunakan, pendidikan kini menjadi semacam “bengkel” dengan segala perangkat teknologi di dalamnya. Digitalisasi pendidikan demikian pada akhirnya akan menggerogoti idealismenya. Pendidikan yang awalnya merupakan wahana pemanusiaan manusia (humanisasi) yang mengindikasikan adanya spirit pengabdian kepada masyarakat, ternyata kini telah berganti menjadi lembaga yang mendidik siswa berpikir teknologis, globalis, modernis dan semakin menjauh dari realitas dan nilai lokal kemasyarakatan.

B.     Lokalitas dan Nilai Kepesantrenan
Dalam kerangka ini, menjauhnya masyarakat dari realitas dan nilai lokal kemasyarakatan mungkin adalah wajar. Karena memang, seringkali orang mengalami kesalahan persepsi tentang apa itu (nilai) lokalitas. Lokalitas sering dipahami sekadar sebagai hal yang bersifat “kolotis”, tradisional dan jauh dari sifat progresif. Dalam persepektif ‘pembangunanisme’ (developmentalism) pun, spirit lokalitas seringkali dianggap sebagai penghambat pembangunan. Akan tetapi, persepsi ini menjadi tidak wajar ketika spirit lokal juga diakui ternyata mengandung nilai-nilai kearifan, sebagai kontrol menghadapi “budaya baru” yang lahir dari era digitalisasi-modernisasi dewasa ini. Kearifan lokal inilah yang sebenarnya juga mempunyai spirit dalam menciptakan manusia yang bijak menyikapi kehidupan.
Dalam keterkaitan ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia merupakan institusi yang lahir dari, oleh dan untuk masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Manajemen pendidikan full day school yang ada di dalam pesantren banyak diilhami oleh lembaga pendidikan di Indonesia. Tentunya ini tidak lepas dari nilai pendidikan lokal yang menjadi warisan para pendahulu, seperti nilai yang terkandung dalam sistem pembelajaran sorogan (individual) dan wetonan (kolektif), yang di dalamnya memuat nilai ashlah yang pada akhirnya akan membentuk mental dan keperibadian santri—sebagai pelajar di pesantren. Dalam pada itu, pesantren juga memiliki nilai-nilai universal keagamaan semisal zuhud, wara’, tawakkal, sabar, tawadhu’, ikhlas dan sebagainya.
Nilai-nilai pendidikan pesantren semacam ini (baca: lokalitas pendidikan), jika melihat dari sistem pendidikan yang diterapkan di Annuqayah, setidaknya dapat diaktualisasikan pada era digitalisasi untuk dijadikan acuan. Sebab, pendidikan pesantren (utamanya pesantren yang beridentitas semimodern semacam Annuqayah) ternyata masih memegang teguh nilai-nilai pendidikan berkearifan lokal, walaupun pada sistem pendidikan formalnya mengadopsi sistem pendidikan modern.[4]
Jargon ‘menjaga nilai tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik’ yang diterapkan di berbagai pesantren semimodern, memang sangat pas jika dihadapkan pada persoalan zaman yang kian “barbar” ini. Sebab, jargon uni merupakan spirit di mana warisan “kekayaan pendahulu” yang bernilai ashlah masih tetap dipertahankan, untuk kemudian disejajarkan kedudukannya dengan “paham baru” yang diadopsi dari perkembangan zaman, dengan tetap bijak menyikapi perubahan sebagai konsekuensinya.
Akan tetapi belakangan muncul kekhwatiran dari para pengelola lembaga pendidikan pesantren akan pudarnya nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh para pendahulu. Kekhawatiran ini muncul seiring kebijakan pemerintah Departemen Agama (Depag) bahwa sistem maupun kurikulum sekolah (wabilkhusus sekolah yang berbasis di pesantren) akan disamabentukkan dengan sistem pendidikan nasional. Konsekuensi dari ini, pesantren tentunya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya, walaupun dalam beberapa hal masih sedikit ada perbedaan. Akan tetapi, kekhawatiran ini tentu menjadi tanda bahwa nilai-nilai pendidikan pesantren (khususnya yang bersifat lokal) akan tergerus.
Lebih dari itu, era digitalisasi sebagai spirit globalisasi-modernisasi seakan bertentangan atau bahkan “dipertentangkan” dengan nilai-nilai lokal, yang pada orientasinya akan mereduksi kekayaan lokal. Di satu sisi, era digitalisasi dianggap akan memberikan kontribusi bagi kemajuan manajemen pendidikan (pesantren) yang mengarah pada hal yang bersifat progress. Tetapi di sisi lain, dengan spirit demikian pada akhirnya akan menggerus nilai lokal, berupa tidak terikatnya pesantren pada figur kyai sebagai tokoh sentral seperti yang terjadi di pesantren modern,[5] misalnya. Jika tidak ada upaya pengintegrasian kedua cara pandang ini, pada gilirannya akan menciptakan konflik intern sehingga akan mengancam eksistensi pendidikan pesantren itu sendiri.

C.    Aktualisasi Nilai Pendidikan Pesantren di Era Digital
Di sinilah pentingnya kita mengaktualisasi nilai-nilai (berkearifan lokal) pendidikan yang terkandung dalam pesantren untuk kemudian dikontekstualisasikan pada berbagai dinamika zaman. Pengaktualisasian ini secara umum berorientasi pada pengintegrasian kedua cara pandang di atas, sehingga dapat mengaktualisasi nilai-nilai kearifan lokal, demi menyelematkan nilai pendidikan pesantren di era digitalisasi. Upaya ini juga bertujuan bagaimana pesantren dapat menjadi wahana “perdamaian” antara nilai: lokalitas dan modernitas, tentunya dengan terus bersikap kritis, selektif, dan arif terhadap berbagai perkembangan.
Oleh karena itu, tawaran qaidah al-muhafadzatu ala al-qadiimisshalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah (menjaga nilai tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik), setidaknya ada dua misi penting. Pertama, pelestarian nilai (lokal) yang terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Dalam perspektif ini, sebagaimana menurut Fathorrahman Hasbul ketika mengutip gagasan Gus Dur yang dikutip Abdurrahman Mas’ud MA, Ph. D, pelajaran yang ditawarkan dalam pendidikan pesantren berupa literatur universal yang dipelihara dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, langsung berkaitan dengan konsep unik kepemimpinan kyai. [6] Kandungan yang ada dalam kitab turats atau kitab kuno (dilihat dari perspektif modern) harus dapat memberikan kesinambungan bagi the right tradition atau al-qadim as-shalih.
Kedua, mengadopsi nilai baru yang dapat berkontribusi bagi mineset yang terefleksi dalam way of life pesantren ke depan. Ini penting dilakukan agar pesantren tidak melulu diklaim sebagai pendidikan tradisional, konservatif, kumuh, karena telah berhadapan, baik secara langsung atau tidak, dengan era digitalisasi. Tentunya dengan tetap mengaktualisasikan nilai-nilai universal sebagai kekayaan pesantren sejak dulu. Sehingga dengan demikian, output pesantren tidak gagap menghadapi perkembangan zaman yang tak bisa dibendung ini.
            Kedua misi di atas, diharapkan dapat dijadikan sebagai pijakan untuk pesantren dalam melangkah menempuh era digitalisasi yang kini tengah dihadapi. Supaya pasantren nantinya tetap menjadi “pioner” pendidikan di tengah maraknya komersialisasi dan digitalisasi pendidikan di Indonesia.

D.    Penutup
            Dari deskripsi logis di atas, perkembangan era digitalisasi dewasa ini memaksa manusia mempunyai cara pandang instan. Ketergantungan kepada teknologi secara berlebihan ternyata telah menjadikan manusia sebagai masyarakat bisu (silent society). Pesantren yang pada mulanya merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang lahir dari, oleh dan untuk masyarakat, utamanya masyarakat pedesaan, kini harus bersiap diri untuk ikut berperan aktif dalam perubahan. Perngaktualisasian nilai pendidikan pesantren menjadi solusi alternatif, sehingga nilai-nilai universal pendidikan pesantren dapat terselamatkan dari gempuran era digitalisasi kini.
Akhirnya, tulisan ini semoga tidak dianggap mendoktrin pesantren secara besar-besaran, tetapi hanya sebagai upaya merekonstruksi menuju pesantren masa depan. Wallahu A’lam bisshawab.


[1] Globalisasi adalah sebuah istilah yang lahir dari dinamika international yang mengindikasikan adanya integrasi secara global dalam bidang ekonomi, pendidikan, budaya dan politik (lihat: Andi Widjajanto, Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: 2007), hal. 01
[2] Ibid. hal. 06
[3] Untuk memahami konsep manusia tergantung sebagai masyarakat bisu (silent society), dapat dilihat dalam: Paulo Freire, The Politic of Education: Cultur, Power, and Liberation, (Yogyakarta: 2007), hal. 132
[4] Lebih jelas, lihat: Hamdan Farchan dan Syarifuddin, Titik Tengkar Pesantren; Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren, (Yogyakarta: 2005), hal. 02
[5] Pesantren modern biasanya mempunyai ciri-ciri, antara lain; (1) memiliki manajemen dan administrasi dengan standar modern; (2) tidak terikat pada figur kyai sebagai tokoh sentral; (3) pola dan sistem pendidikan modern dengan kurikulum tidak hanya ilmu agama tetapi juga pengetahuan umum; (4) sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan dan teratur, permanen dan berpagar. Untuk mengetahui lebih luas lihat: Hamdan Farchan dan Syarifuddin, Titik Tengkar Pesantren……………hal. 01
[6] Dikutip secara bebas dari makalah: Fathorrahman Hasbul, Reaktualisasi Dinamika Pesantren Di Era Modernitas (Rekonstruksi Membangun Pesantren Masa Depan) tahun 2007

Membumikan Spirit Aswaja; Upaya Mempertegas Identitas Pendidikan Annuqayah


Oleh Muhammad Mihrob
A. Pengantar
Pesantren disinyalir sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sejak Walisongo membawa peradaban Islam ke tanah Jawa, pesantren mulai dikenal dengan lembaga pendidikan yang dinilai unik. Keunikan itu tergambar dari sistem pembelajaran atau pendidikan yang menerapkan manajemen full day school. Sehingga tak salah jika pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan yang paling sukses mencetak kader-kader bangsa yang kompeten, bukan hanya di bidang ilmu keagamaan, tetapi pesantren juga melahirkan kader bangsa yang mempunyai waasan kontemporer dan menjadi penggerak bangsa.
Tak jauh berbeda dengan Pondok Pesantren Annuqayah. Pesantren Annuqayah adalah lembaga pendidikan Islam yang berdiri sejak tahun 1887. Annuqayah didirikan oleh seorang musyafir yang bernama Kyai Haji Mohammad Syarqowi.[1] Pada awal berdirinya, lembaga ini hanya berbentuk “surau” bagi masyarakat Guluk-Guluk tempat buahhati para orangtua (baca: anak muda) belajar ngaji. Akan tetapi, dari tahun ke tahun dan dalam perkembangannya, Pesantren Annuqayah berkembang dengan pesat seiring dengan kebutuhan masyarakat sekitar Guluk-Guluk—yang pada saat itu mendesak para pendiri—untuk mendirikan sebuah pesantren. Sehingga, pada itulah Pesantren Annuqayah berdiri.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang diakui salahsatu lembaga pendidikan terbesar di Madura, Pesantren Annuqayah memiliki karakter unik. Hal itu terbukti dengan banyaknya lembaga pendidikan formal[2] dan non-formal yang ada di Annuqayah. Sebut saja seperti Madrasah Tsanawiyah 1 Annuqayah (MTs), Madrasah Aliyah 1 Annuqayah (MA), SMA 1 Annuqayah, dan SMK Annuqayah. sehingga tak pelak, banyaknya lembaga pendidikan formal di Annuqayah memberikan kontribusi urgen bagi pengembangan pengetahuan seluruh santri Annuqayah.
Akan tetapi, sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai karakteristik keagamaislaman, Pesantren Annuqayah juga dihadapkan pada persoalan tidak jelasnya identitas. Banyak kalangan, terutama dari pihak Pesantren Annuqayah sendiri, mempersoalkan tidak jelasnya identitas. Pasalnya, pesantren yang dihuni 4431 santri[3] ini tidak jelas, apakah identitas pendidikannya tradisionalis ataukah pendidikan modernis. Sehingga, hal ini akan berdampak pada santri Annuqayah sendiri.
Setidaknya ada beberapa dampak yang akan dialami oleh santri dan siswa ketika dihadapkan pada persoalan tidak jelasnya identitas pendidikan Annuqayah: pertama, lemahnya santri dalam menguasai suatu materi ajar. Hal ini diketahui ketika santri dihadapkan pada banyaknya materi ajar, sehingga mereka merasakan kebingungan akan menggeluti pelajaran yang mana.
Kedua, output pendidikan yang tidak mempunyai tujuan jelas. Ini dilatarbelakangi karena ketika santri sudah keluar dari pesantren menjadi alumni, santri cenderung kebingungan dalam menentukan orientasinya.
Kedua dampak di atas, pada akhirnya akan memberikan “stigma miring” ketika dihadapkan pada identitas santri itu sendiri. Karena walau bagaimanapun, sistem pembelajaran yang pada identitasnya tidak jelas, akan mempengaruhi pola pikir objek (yang pada waktu bersamaan juga menjadi subjek) pengajaran dari lembaga pendidikan itu sendiri.
Tulisan ini mencoba mengurai “benang merah” mengenai bagaimanakah sebenarnya identitas pendidikan dan pengajaran yang ada di Annuqayah. Sehingga, melalui gagasan yang sederhana ini, penulis bisa berharap dapat mempertegas pendidikan ala Annuqayah.

B.  Dua Sistem Pendidikan di Annuqayah
Pada beberapa dasawarsa terakhir, Annuqayah mengalami perkembangan. Annuqayah mulai terbuka pada berbagai aspek dinamika “jaman baru” yang dinamai modernisasi. Sebab, modernisasi mempunyai dampak luar biasa bagi masyarakat Madura, sehingga Annuqayah harus “berbenah diri” menuju “manajemen progresif” menghadapi berbagai kemungkinan yang akan ditimbulkan oleh modernisasi. Dapat ditebak, Pesantren Annuqayah telah melakukan reformasi metodologi pendidikan.[4] Dari yang asalnya beridentitas tradisionalis berganti menjadi tradisionalis-modernis. Artinya, Annuqayah, pada metode pengajarannya, bukan hanya mempertahankan sistem pengajaran sorogan (individual) dan wetonan (kolektif) yang merupakan ciri pendidikan tradisionalis, tetapi juga menerima sistem pendidikan modern seperti sistem pengajaram “dialogis-dinamis-progresif” yang berlangsung di sekolah formal. Sehingga, Annuqayah saat ini mempunyai dua sistem pendidikan, yakni sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan modern.
Dengan kedua sistem pengajaran dan pendidikan demikian, Annuqayah hingga kini tetap berlangsung. Keberlangsungan itulah sebenarnya merupakan tanda yang pada akhirnya akan menegaskan identitas pendidikan di Annuqayah. Akan tetapi, seperti dijelaskan di awal tulisan ini, bahwa pembelajaran bermodel dua sistem itu kini banyak diresahkan oleh elemen di  Annuqayah, karena ketidakjelasan identitas. Tentu persoalan ini merupakan persoalan akut yang telah lama “menggenang” di Annuqayah sendiri, karena dapat berakibat pada santri dan siswa di Annuqayah.
Sehingga, persoalan itu harus diselesaikan dengan menegaskan kembali identitas pendidikan Annuqayah. Upaya ini dilakukan (sebisa mungkin) dengan mencoba membumikan spirit Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah). Sebab, Aswaja sendiri merupakan ideologi Pesantren Annuqayah yang hingga kini masih menjadi acuan bahkan menjadi “kitab petunjuk” dalam menentukan langkah Annuqayah ke depan.

C. Aswaja sebagai Ideologi dan Identitas
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) merupakan aliran (firqah) Islam yang muncul pada ketika berakhirnya kepemimpinan Rasulullah Saw. yang kemudian dilanjutkan oleh periode Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar R.a., Umar R.a., Utsman R.a., dan Ali K.w.). Aliran ini merupkan jalan tengah (wasath) bagi kedua paham, yakni faham Qadariyah (yang percaya bahwa manusia mempunyai otoritas penuh atas dirinya sendiri dan menghilangkan kuasa Tuhan atas diri manusia) dan faham Jabariyah (yang I’tikadnya berlawanan dengan Qadariyah).[5] Aswaja mulai dikembangkan oleh ‘Alimul ‘Allamah Abu Hasan Al-Asya’ari (260-324 H) dan Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333 H).[6] Karena memang, kedua ulama itu mempunyai kapasitas intelektual di bidang Ushuluddin dan mempunyai perhatian khusus terhadap kondisi sosio-kultur masyarakat.
Sehingga, Aswaja menjadi ideologi bahkan madzhab yang dalam praktiknya menjadi mudah dan tidak njelimet. Mungkin inilah yang menjadi alasan kenapa Annuqayah berkiblat pada Aswaja.
Prinsip yang menegaskan karakter yang berhaluan Aswaja hingga kini tetap merupakan spirit bagi keberlangsungan pendidikan Annuqayah. Prinsip tersebut antara lain adalah: pertama, ta’addul (equal), bersikap adil dalam menentukan dan memutuskan sesuatu.
Kedua, tasamuh (tolerance), toleran terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam mengawal modernitas dengan segala tetek-bengeknya. Ketiga, tawasuth, moderat.
Keempat, tawaazun (balance), berpikir dan bersikap seimbang, tidak lantas “mencemooh” perbedaan yang ada, berupaya mencari format terbaik dalam menjalankan dan menentukan sesuatu. Tak salah jika kemudian Annuqayah meletakkan Aswaja sebagai dasar sejak masa berdirinya oleh KH. Mohammad Syarqowi dahulu, sampai masa berkembangnya.
Lantas, jika dihadapkan pada persoalan tidak jelasnya identitas pendidikan dan pengajaran di Annuqayah—karena (seakan) ada percampurbauran antara sistem pendidikan modern dan tradisional, maka prinsip tawaazun menjadi solusi tepat demi menegaskan kembali identitas pendidikan di Annuqayah. Sebab, prinsip tersebut pada praktiknya merupakan salah satu identitas bagi Annuqayah yang menjadi acuan hingga kini.
Di sinilah perlu dijelaskan tentang implementasi tawaazun dalam menegaskan identitas pendidikan Annuqayah. Yakni, dengan berkiblat pada qaidah al-muhafadzatu ala al-qadimis shalih wal akhdzu bi al-jadiidil ashlah (menjaga tradisi atau budaya lama yang baik dan mengambil tradisi atau budaya baru yang lebih baik). Qaidah itu setidaknya merupakan spirit bagi pengembangan Annuqayah kini dan masa depan. Ternyata betul, ketika kita melihat perkembangan Annuqayah saat ini, kita akan dipertemukan dengan realitas bahwa Annuqayah mempunyai sistem pendidikan tradisionalis dan sistem pendidikan modernis.
Antara kedua sistem pendidikan itu, Annuqayah telah mengamalkan tawaazun dan telah menegaskan prinsipnya, yakni “prinsip keseimbangan”. Prinsip keseimbangan merupakan spirit di mana Annuqayah mencoba memadukan kedua sistem pendidikan, yaitu dengan mempertahankan “titipan” dari para pendahulu dan mengembangkan pendidikan modern yang merupakan “produksi” para generasi muda di Annuqayah.
Setidaknya, ada beberapa alasan kenapa penulis meletakkan tawaazun sebagai metode yang mampu menegaskan identitas pendidikan Annuqayah.
Pertama, sebuah institusi pendidikan, baik secara kualitas maupun kuantitas, harus mampu menunjukkan eksistensinya dan sumbangsihnya kepada masyarakat di tengah kemajuan yang dicapai oleh dinamika zaman. Sebab, dengan adanya perkembangan zaman yang kian kompleks, Annuqayah setidaknya juga harus ikut andil. Jika tidak, sama saja Annuqayah “memenjarakan diri” dan tidak mau menatap perkembangan dan pembangunan modern. Maka, adalah keharusan jika berbagai upaya dilakukan Annuqayah. Salah satunya adalah dengan “menginvestasi” kekayaan modern berupa masuknya teknologi—sebagai salah satu trend modernisme.
Contoh kecilnya seperti di Madrasah Aliyah 1 Annuqayah (MA 1 A). MA 1 A, awalnya memang merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai basic sistem pendidikan berkarakter “posttradisionalis”—dalam istilahnya penulis. Sistem pendidikan posttradisionalis merupakan sistem pendidikan yang dalam pengajarannya tidak lepas dari karakter pendidikan modern pada tahap awal, tetapi dari segi kelengkapan fasilitas masih mengalami krisis. Pada dasawarsa terakhir ini, MA 1 A mulai mengembangkan sistem pendidikan yang menggunakan teknologi sebagai basis pendidikan modern. Bahkan, kini MA 1 A merupakan satu-satunya lembaga swasta di Annuqayah yang (dapat dikatakan) memiliki kualitas lebih di bidang IPTEK. Terbukti pada tahun ini, MA 1 A meraih akreditasi A dan membuka jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan beroprasinya Laboratorium IPA.
Kedua, mempertahankan “kekayaan lama”[7] di Annuqayah yang tentu bernilai ashlah sebagai media kontrol. Hal ini dimaksudkan agar Pesantren Annuqayah memiliki identitas sebagai lembaga pendidikan yang masih berkiblat pada ajaran Islam dan lebih mementingkan keagamaan serta mempunyai pegangan. Jika kemudian Annuqayah mampu mempertahankan tradisi dan kekayaan yang diwariskan oleh para pendirinya sebagai pijakan dalam mengambil budaya baru, maka Annuqayah akan bisa menjadi lembaga pendidikan berkarakter yang mampu dipertanggungjawabkan kualitas (keilmuan)-nya.
Contohnya seperti lembaga Madrasah Aliyah Tahfidz (MAT). MAT merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Yayasan Annuqayah. MAT eksis dengan karakter keagamaan yang ditandai dengan mendominasinya ilmu agama. Tak salah jika MAT bertujuan untuk membentuk santri yang memiliki kualitas keilmuan di bidang keagamaan. Salah satunya adalah dengan membekali kemampuan membaca kitab Turats dan menghafal Al-Qur’an.
Kedua alasan dan contoh di atas setidaknya telah menegaskan bahwa pesantren Annuqayah memiliki identitas “jelas” sebagai lembaga pendidikan Islam yang berupaya mengembangkan potensi santri di berbagai bidang, sesuai dengan bakat dan minat masing-masing santri atau siswa. Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Drs. KH. A. Warits Ilyas (pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa) bahwa, Annuqayah merupakan “ladang”, tempat di mana segala potensi dapat disemai hingga bisa dipetik hasilnya.

D.    “Semi Modern” sebagai Identitas Pendidikan Annuqayah
Dalam suatu kesempatan berbeda, ketika mengikuti proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang berlangsung di kelas (21/02), penulis pernah menyimak apa yang dijelaskan oleh K. M. Mushthafa (salah seorang guru Etika di MA 1 Annuqayah). Beliau menjelaskan bahwa, hakikat pendidikan sebenarnya pada akhirnya berorientasi “nilai”. Ada nilai yang harus dipertahankan dan ada nilai yang harus dikembangkan. Begitupun di Pesantren Annuqayah. Lembaga pendidikan yang mempunyai dua sistem pendidikan semisal Annuqayah, sebenarnya bukan tidak memiliki identitas yang jelas. Justru dengan kedua sistem itulah Annuqayah mampu menegaskan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam yang progresif dan mempunyai komitmen dalam membentuk santri yang ideal dan bisa berguna, kelak ketika terjun di masyarakat. Tak salah jika tujuan Annuqayah secara umum adalah “lahirnya generasi abdullah yang bertakwa, mutafaqqih fiddin, berilmu luas dan menjadi mundzirul qaum.”
Tentang identitas pendidikan Annuqayah sebenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Yakni, dengan dasar Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dan dengan visi keilmuan bahwa, “Pondok Pesantren Annuqayah tidak mendikotomi ‘ilmu agama’ dan ‘ilmu umum’, tetapi semua ilmu adalah dari Allah SWT”—seperti yang ditulis dalam buku Profil Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura.[8]
Dengan inilah, jika penulis boleh tegaskan, pendidikan Annuqayah beridentitas “semi modern”. Semi modern merupakan sebuah fase di mana seluruh upaya yang telah dilakukan mengalami perkembangan dan mencoba terus-menerus dikembangkannya. Sehingga, sistem pendidikan pesantren semi modern (semisal di Annuqayah) adalah sebah upaya untuk mengimbangi antara pendidikan tradisional (yang bergerak di bidang pertahanan sekaligus pemupukan moral-spiritual peserta didik) dan pendidikan modern (yang bergerak di bidang pengembangan peserta didik agar bisa berperan di tengah kompleksitas perkembangan zaman).
Model semacam inilah yang kini menjadi identitas pendidikan Annuqayah. sebuah  model di mana tidak hanya terpaku pada satu disiplin ilmu saja. Tetapi, lebih pada pengembangan potensi sesuai dengan minat dan bakat peserta didik. Sehingga wajar jika banyak kegiatan yang terdapat pada semua lembaga pendidikan di Pondok Pesantren Annuqayah. Salah satunya adalah kegiatan sanggar (semisal Sanggar Andalas), komunitas penulis (misal Kelompok Ilmiah Santri/KIS), kegiatan kepramukaan, dan kegiatan organisasi, baik organisasi semacam OSIS (yang terdapat pada lembaga pendidikan formal) maupun ORDA/Organisasi Daerah (yang terdapat di lembaga pesantren).
Setidaknya, ada beberapa hal yang menjadi tujuan pendidikan semi modern di Annuqayah. pertama, membentuk pribadi santri dan siswa yang berwawasan ilmu keagamaan (tafaqqahu fiddin) sebagai bekal ketika terjun ke masyarakat. Hal ini dianggap penting karena sebagai seorang santri, seyogianya harus faham terhadap persoalan agama yang ada di masyarakat. Tentunya dengan mengacu pada ideologi Aswaja sebagai dasar pendidikan di Annuqayah.
Kedua, membentuk pribadi santri dan siswa yang siap menghadapi berbagai tantangan globalisasi-modernisasi. Upaya ini dapat dilihat dari lembaga pendidikan formal yang sudah membuka jurusan IPA berbasis teknologi dan ilmu alam. Semisal di SMA Annuqayah dan MA 1 Annuqayah. Sehingga, dengan pengelolaan yang cukup baik, peserta didik (wabil khusus santri) diajak untuk memahami ilmu alam dan mencoba melakukan penelitian dan pengasahan produktivitas di bidang Ilmu Alam.
Ketiga, membentuk santri dan siswa yang mempunyai keterampilan atau skill tertentu. Hal ini ditandai dengan adanya kegiatan-kegiatan yang beragam (mulai dari seni, sastra, organisasi, KIR sampai pada kepramukaan) yang ada di Annuqayah. sistem pendidikan semi modern memiliki indikasi bahwa peserta didik dituntut untuk bebas dalam memilih dan menentukan bidang studi yang mereka minati. Sebab, dengan cara inilah peserta didik akan mampu fokus pada bidang studi yang ingin mereka kembangkan, yakni dengan bebas memilih. Peserta didik yang bebas menentukan dan memilih bidang studi tertentu sesuai dengan minat dan bakatnya, akan berbeda hasilnya daripada peserta didik yang cenderung “didorong” dan “dipaksa” untuk menggeluti bidang studi yang (bisa saja) tidak mereka minati.
Keempat, menciptakan santri dan siswa yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan berpegang pada ajaran dan syariat Islam.[9] Nah, di sinilah sebenarnya nilai penting yang mampu menegaskan identitas pendidikan Annuqayah. Peserta didik (khususnya santri) dituntut untuk bisa mengaplikasikan keilmuannya dengan berpedoman pada nilai-nilai yang terkandung di dalam Aswaja—yang merepresentasikan prinsip dalam bersikap adil (ta’adul/equal), toleran (tasamuh/tolerance), dan moderat (tawassuth/moderat), serta berpikir dan bersikap seimbang (tawaazun/balance). Sebab, ini pada akhirnya akan berindikasi pada terbentuknya peserta didik (baik santri maupun siswa) Annuqayah yang memiliki kemampuan memadai sebagai khalifah fi al-ardh yang berilmu dan berwawasan luas serta bisa menjadi mundzirul qaum—seperti cita-cita pengasuh Annuqayah. Sehingga, Annuqayah pada prinsipnya akan menegaskan identitas dan karakter pendidikan semi modern yang hingga kini berlangsung di Annuqayah.
Dengan ke empat tujuan inilah, setidaknya pendidikan semi modern ala Annuqayah dapat menemukan irama permainan terbaiknya. Demi mengawal modernitas, melalui sistem pendidikan semi modern, Annuqayah dapat menjadi institution power of quotien di tengah-tengah masyarakat sebagai lembaga pendidikan yang tidak mendikotomi “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Sehingga, dengan metode pendidikan semi modern, santri dan siswa Annuqayah mampu berperan di tengah terjangan arus globalisasi-modernisasi. Semoga! Wallahu a’lam bisshawab

*tuisan ini diikutkan pada Lomba Menulis Artikel yang diadakan oleh Panitia Pekan Raya Ilmiyah Perpustakaan MA 1 Annuqayah, dan berhasil meraih Juara II dalam lomba tersebut


[1] KH. Mohammad Syarqowi berasal dari Kudus, Jawa Tengah, merantau ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama. Beliau bersahabat dengan salah seorang mukimin dari Parenduan, Madura yang saat itu bersama istrinya. Tapi, selang beberapa saat, mukimin itu meninggal dan KH. Syarqowi diamanatkan untuk menikahi istri mukimin itu. Sehingga, KH. Syarqowi tinggal di Madura.
[2] Lembaga pendidikan formal adalah institusi pendidikan yang dalam sistemnya mengacu pada kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan pemerintah agama (Depag). Berbeda dengan pendidikan non-formal yang dalam sistemnya dibentuk melalui kebijakan dari stakeholders dalam lembaga pendidikan itu sendiri, tidak mengacu pada kebijakan pemerintah seperti pendidikan formal.
[3] Data jumlah santri ini berdasar pada Update data PP Annuqayah pada tahun pelajaran 1430-1431/1009-2010. Sedangkan berdasar tahun 2009 tentang jumlah siswa Annuqayah yaitu sebanyak 6323 (lihat: Profil Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Pusat Data PP. Annuqayah: 2010), hal. 03
[4] Reformasi metodologi pendidikan ini juga didasarkan pada kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu yang nampak di Annuqayah adalah dengan diadakannya Biro Pengembangan Masyarakat (BPM) yang pada tahun ini dikelola oleh K. M. Zamiel Muttaqin dan Panji Taufiq. Lihat juga: Abd. A’la, Melampaui Dialog Agama, (Jakarta: 2002), hal. 123
[5] Tuntaskan pada: Aswaja di Annuqayah Dalam Ancaman, (Majalah MUARA Edisi XXXIII, 2011), hal. 25
[6] Pengembangan ini ditandai dengan adanya pemaduan antara dalil ‘aqli dan dalil naqli. Ibid., hal. 25
[7] Kekayaan lama merupakan potensi Annuqayah yang sejak dulu sudah tertanam kuat dan menjadi akar sejarah bagi perkembangan pendidikan Annuqayah. Contohnya di sini adalah sistem pendidikan tradisional yang ditandai dengan “kitab kuning” atau kitab turats sebagai karakter dan identitas bagi pesantren Annuqayah
[8] Lebih jelas, tuntaskan pada Profil Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, (Pusat Data Pondok Pesantren Annuqayah: 2010), hal.-
[9] Aswaja mempunyai acuan utama dalam hal keilmuan, baik di bidang Fiqih, Tauhid maupun Tashawwuf. Di bidang Tauhid mengacu pada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Di bidang Fiqih mengacu pada Madzhabul Ar-Ba’ah, yaitu Imam Syafi’ie, Hanafi, Hambali dan Maliki. Sedangkan Tashawwufnya mengacu pada konsep-konsep Tashawwufnya Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazaly dan Imam Juneid Al-Baghdady. (lebih jelas, tuntuskan pada: makalah berjudul Mengenal Warna Aswaja PMII: 2009)