Oleh Muhammad Mihrob
A.
Pendahuluan
Di era Millenium Ketiga ini,
globalisasi[1]
telah menjadi perbincangan alot. Dalam persepektif Chadwick Alger, globalisasi
berintikan kepada dua definisi nilai global, yakni, ‘perdamaian’ dan
‘pembangunan’, yang secara luas konsekuensinya adalah kondisi ketiadaan rasa
damai (peacelessnes).[2] Sedangkan
pada saat yang sama, globalisasi juga telah “memaksa” manusia untuk ber-mineset
“instan”. Ini dilihat dari pergerseran gaya hidup (shifting life
style) manusia, dari yang sifatnya cenderung “apa adanya” ke penggunaan
perangkat teknologi secara berlebihan. Konsekuensi dari ini, manusia akan
memiliki ketergantungan, karena telah menjadikan teknologi sebagai ‘dewa’.
Inilah yang kemudian disebut dengan
era digitalisasi, di mana manusia menjadi apa yang disebut Paulo Freire sebagai
“silent society” (masyarakat bisu) sebagai konsekuensi dari
ketergantungan yang berlebihan. Suara manusia tidak lagi berasal dari lubuk
hatinya, namun merupakan pantulan suara masyarakat metropolis,[3] sehingga
pada akhirnya mereka (baca: silent society) terasing dari lingkungan
masyakarakatnya.
Dalam bidang pendidikan, tak lepas
dari wacana digitalisasi. Berbagai perubahan, baik pada manajemen (pengelolaan)
maupun fasilitas yang digunakan, pendidikan kini menjadi semacam “bengkel”
dengan segala perangkat teknologi di dalamnya. Digitalisasi pendidikan demikian
pada akhirnya akan menggerogoti idealismenya. Pendidikan yang awalnya merupakan
wahana pemanusiaan manusia (humanisasi) yang mengindikasikan adanya spirit
pengabdian kepada masyarakat, ternyata kini telah berganti menjadi lembaga yang
mendidik siswa berpikir teknologis, globalis, modernis dan semakin menjauh dari
realitas dan nilai lokal kemasyarakatan.
B. Lokalitas dan Nilai Kepesantrenan
Dalam kerangka ini, menjauhnya
masyarakat dari realitas dan nilai lokal kemasyarakatan mungkin adalah wajar. Karena
memang, seringkali orang mengalami kesalahan persepsi tentang apa itu (nilai)
lokalitas. Lokalitas sering dipahami sekadar sebagai hal yang bersifat
“kolotis”, tradisional dan jauh dari sifat progresif. Dalam persepektif ‘pembangunanisme’
(developmentalism) pun, spirit lokalitas seringkali dianggap sebagai
penghambat pembangunan. Akan tetapi, persepsi ini menjadi tidak wajar ketika spirit
lokal juga diakui ternyata mengandung nilai-nilai kearifan, sebagai kontrol menghadapi
“budaya baru” yang lahir dari era digitalisasi-modernisasi dewasa ini. Kearifan
lokal inilah yang sebenarnya juga mempunyai spirit dalam menciptakan manusia
yang bijak menyikapi kehidupan.
Dalam keterkaitan ini, pesantren sebagai
lembaga pendidikan tertua di Indonesia merupakan institusi yang lahir dari,
oleh dan untuk masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Manajemen pendidikan full
day school yang ada di dalam pesantren banyak diilhami oleh lembaga
pendidikan di Indonesia. Tentunya ini tidak lepas dari nilai pendidikan lokal
yang menjadi warisan para pendahulu, seperti nilai yang terkandung dalam sistem
pembelajaran sorogan (individual) dan wetonan (kolektif),
yang di dalamnya memuat nilai ashlah yang pada akhirnya akan membentuk
mental dan keperibadian santri—sebagai pelajar di pesantren. Dalam pada itu, pesantren juga
memiliki nilai-nilai universal keagamaan semisal zuhud, wara’, tawakkal, sabar,
tawadhu’, ikhlas dan sebagainya.
Nilai-nilai pendidikan pesantren
semacam ini (baca: lokalitas pendidikan), jika melihat dari sistem pendidikan yang
diterapkan di Annuqayah, setidaknya dapat diaktualisasikan pada era
digitalisasi untuk dijadikan acuan. Sebab, pendidikan pesantren (utamanya
pesantren yang beridentitas semimodern semacam Annuqayah) ternyata masih
memegang teguh nilai-nilai pendidikan berkearifan lokal, walaupun pada sistem
pendidikan formalnya mengadopsi sistem pendidikan modern.[4]
Jargon ‘menjaga nilai tradisi lama
yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik’ yang diterapkan di
berbagai pesantren semimodern, memang sangat pas jika dihadapkan pada persoalan
zaman yang kian “barbar” ini. Sebab, jargon uni merupakan spirit di mana
warisan “kekayaan pendahulu” yang bernilai ashlah masih tetap
dipertahankan, untuk kemudian disejajarkan kedudukannya dengan “paham baru”
yang diadopsi dari perkembangan zaman, dengan tetap bijak menyikapi perubahan
sebagai konsekuensinya.
Akan tetapi belakangan muncul kekhwatiran
dari para pengelola lembaga pendidikan pesantren akan pudarnya nilai kearifan
lokal yang diwariskan oleh para pendahulu. Kekhawatiran ini muncul seiring
kebijakan pemerintah Departemen Agama (Depag) bahwa sistem maupun kurikulum
sekolah (wabilkhusus sekolah yang berbasis di pesantren) akan
disamabentukkan dengan sistem pendidikan nasional. Konsekuensi dari ini,
pesantren tentunya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya,
walaupun dalam beberapa hal masih sedikit ada perbedaan. Akan tetapi,
kekhawatiran ini tentu menjadi tanda bahwa nilai-nilai pendidikan pesantren
(khususnya yang bersifat lokal) akan tergerus.
Lebih dari itu, era digitalisasi
sebagai spirit globalisasi-modernisasi seakan bertentangan atau bahkan
“dipertentangkan” dengan nilai-nilai lokal, yang pada orientasinya akan
mereduksi kekayaan lokal. Di satu sisi, era digitalisasi dianggap akan
memberikan kontribusi bagi kemajuan manajemen pendidikan (pesantren) yang
mengarah pada hal yang bersifat progress. Tetapi di sisi lain, dengan
spirit demikian pada akhirnya akan menggerus nilai lokal, berupa tidak
terikatnya pesantren pada figur kyai sebagai tokoh sentral seperti yang terjadi
di pesantren modern,[5]
misalnya. Jika tidak ada upaya pengintegrasian kedua cara pandang ini, pada
gilirannya akan menciptakan konflik intern sehingga akan mengancam eksistensi
pendidikan pesantren itu sendiri.
C. Aktualisasi Nilai Pendidikan
Pesantren di Era Digital
Di sinilah pentingnya kita
mengaktualisasi nilai-nilai (berkearifan lokal) pendidikan yang terkandung
dalam pesantren untuk kemudian dikontekstualisasikan pada berbagai dinamika
zaman. Pengaktualisasian ini secara umum berorientasi pada pengintegrasian
kedua cara pandang di atas, sehingga dapat mengaktualisasi nilai-nilai kearifan
lokal, demi menyelematkan nilai pendidikan pesantren di era digitalisasi. Upaya
ini juga bertujuan bagaimana pesantren dapat menjadi wahana “perdamaian” antara
nilai: lokalitas dan modernitas, tentunya dengan terus bersikap kritis,
selektif, dan arif terhadap berbagai perkembangan.
Oleh karena itu, tawaran qaidah al-muhafadzatu
ala al-qadiimisshalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah (menjaga nilai tradisi
lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik), setidaknya ada dua misi
penting. Pertama, pelestarian nilai (lokal) yang terefleksi dalam
tradisi intelektual pesantren. Dalam perspektif ini, sebagaimana menurut
Fathorrahman Hasbul ketika mengutip gagasan Gus Dur yang dikutip Abdurrahman
Mas’ud MA, Ph. D, pelajaran yang ditawarkan dalam pendidikan pesantren berupa
literatur universal yang dipelihara dan ditransmisikan dari satu generasi ke
generasi berikut, langsung berkaitan dengan konsep unik kepemimpinan kyai. [6]
Kandungan yang ada dalam kitab turats atau kitab kuno (dilihat dari
perspektif modern) harus dapat memberikan kesinambungan bagi the right
tradition atau al-qadim as-shalih.
Kedua, mengadopsi nilai baru yang dapat
berkontribusi bagi mineset yang terefleksi dalam way of life
pesantren ke depan. Ini penting dilakukan agar pesantren tidak melulu
diklaim sebagai pendidikan tradisional, konservatif, kumuh, karena telah
berhadapan, baik secara langsung atau tidak, dengan era digitalisasi. Tentunya
dengan tetap mengaktualisasikan nilai-nilai universal sebagai kekayaan
pesantren sejak dulu. Sehingga dengan demikian, output pesantren tidak
gagap menghadapi perkembangan zaman yang tak bisa dibendung ini.
Kedua
misi di atas, diharapkan dapat dijadikan sebagai pijakan untuk pesantren dalam
melangkah menempuh era digitalisasi yang kini tengah dihadapi. Supaya pasantren
nantinya tetap menjadi “pioner” pendidikan di tengah maraknya komersialisasi
dan digitalisasi pendidikan di Indonesia.
D.
Penutup
Dari deskripsi logis di atas,
perkembangan era digitalisasi dewasa ini memaksa manusia mempunyai cara pandang
instan. Ketergantungan kepada teknologi secara berlebihan ternyata telah
menjadikan manusia sebagai masyarakat bisu (silent society). Pesantren
yang pada mulanya merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang lahir dari, oleh
dan untuk masyarakat, utamanya masyarakat pedesaan, kini harus bersiap diri
untuk ikut berperan aktif dalam perubahan. Perngaktualisasian nilai pendidikan
pesantren menjadi solusi alternatif, sehingga nilai-nilai universal pendidikan
pesantren dapat terselamatkan dari gempuran era digitalisasi kini.
Akhirnya,
tulisan ini semoga tidak dianggap mendoktrin pesantren secara besar-besaran,
tetapi hanya sebagai upaya merekonstruksi menuju pesantren masa depan. Wallahu
A’lam bisshawab.
[1]
Globalisasi adalah sebuah istilah yang lahir dari dinamika international yang
mengindikasikan adanya integrasi secara global dalam bidang ekonomi, pendidikan,
budaya dan politik (lihat: Andi Widjajanto, Transnasionalisasi Masyarakat
Sipil, (Yogyakarta: 2007), hal. 01
[2] Ibid.
hal. 06
[3] Untuk
memahami konsep manusia tergantung sebagai masyarakat bisu (silent society),
dapat dilihat dalam: Paulo Freire, The Politic of Education: Cultur, Power,
and Liberation, (Yogyakarta: 2007), hal. 132
[4] Lebih
jelas, lihat: Hamdan Farchan dan Syarifuddin, Titik Tengkar Pesantren;
Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren, (Yogyakarta: 2005), hal. 02
[5]
Pesantren modern biasanya mempunyai ciri-ciri, antara lain; (1) memiliki
manajemen dan administrasi dengan standar modern; (2) tidak terikat pada
figur kyai sebagai tokoh sentral; (3) pola dan sistem pendidikan modern
dengan kurikulum tidak hanya ilmu agama tetapi juga pengetahuan umum; (4)
sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan dan teratur, permanen dan
berpagar. Untuk mengetahui lebih luas lihat: Hamdan Farchan dan Syarifuddin,
Titik Tengkar Pesantren……………hal. 01
[6] Dikutip
secara bebas dari makalah: Fathorrahman Hasbul, Reaktualisasi Dinamika
Pesantren Di Era Modernitas (Rekonstruksi Membangun Pesantren Masa Depan)
tahun 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar