Senin, 17 Oktober 2011

ERA DIGITAL DAN AKTUALISASI NILAI (PENDIDIKAN) PESANTREN (Upaya Menyelamatkan Nilai-Nilai Pendidikan Pesantren di Era Digital)


Oleh Muhammad Mihrob

A.    Pendahuluan
Di era Millenium Ketiga ini, globalisasi[1] telah menjadi perbincangan alot. Dalam persepektif Chadwick Alger, globalisasi berintikan kepada dua definisi nilai global, yakni, ‘perdamaian’ dan ‘pembangunan’, yang secara luas konsekuensinya adalah kondisi ketiadaan rasa damai (peacelessnes).[2] Sedangkan pada saat yang sama, globalisasi juga telah “memaksa” manusia untuk ber-mineset “instan”. Ini dilihat dari pergerseran gaya hidup (shifting life style) manusia, dari yang sifatnya cenderung “apa adanya” ke penggunaan perangkat teknologi secara berlebihan. Konsekuensi dari ini, manusia akan memiliki ketergantungan, karena telah menjadikan teknologi sebagai ‘dewa’.
Inilah yang kemudian disebut dengan era digitalisasi, di mana manusia menjadi apa yang disebut Paulo Freire sebagai “silent society” (masyarakat bisu) sebagai konsekuensi dari ketergantungan yang berlebihan. Suara manusia tidak lagi berasal dari lubuk hatinya, namun merupakan pantulan suara masyarakat metropolis,[3] sehingga pada akhirnya mereka (baca: silent society) terasing dari lingkungan masyakarakatnya.
Dalam bidang pendidikan, tak lepas dari wacana digitalisasi. Berbagai perubahan, baik pada manajemen (pengelolaan) maupun fasilitas yang digunakan, pendidikan kini menjadi semacam “bengkel” dengan segala perangkat teknologi di dalamnya. Digitalisasi pendidikan demikian pada akhirnya akan menggerogoti idealismenya. Pendidikan yang awalnya merupakan wahana pemanusiaan manusia (humanisasi) yang mengindikasikan adanya spirit pengabdian kepada masyarakat, ternyata kini telah berganti menjadi lembaga yang mendidik siswa berpikir teknologis, globalis, modernis dan semakin menjauh dari realitas dan nilai lokal kemasyarakatan.

B.     Lokalitas dan Nilai Kepesantrenan
Dalam kerangka ini, menjauhnya masyarakat dari realitas dan nilai lokal kemasyarakatan mungkin adalah wajar. Karena memang, seringkali orang mengalami kesalahan persepsi tentang apa itu (nilai) lokalitas. Lokalitas sering dipahami sekadar sebagai hal yang bersifat “kolotis”, tradisional dan jauh dari sifat progresif. Dalam persepektif ‘pembangunanisme’ (developmentalism) pun, spirit lokalitas seringkali dianggap sebagai penghambat pembangunan. Akan tetapi, persepsi ini menjadi tidak wajar ketika spirit lokal juga diakui ternyata mengandung nilai-nilai kearifan, sebagai kontrol menghadapi “budaya baru” yang lahir dari era digitalisasi-modernisasi dewasa ini. Kearifan lokal inilah yang sebenarnya juga mempunyai spirit dalam menciptakan manusia yang bijak menyikapi kehidupan.
Dalam keterkaitan ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia merupakan institusi yang lahir dari, oleh dan untuk masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Manajemen pendidikan full day school yang ada di dalam pesantren banyak diilhami oleh lembaga pendidikan di Indonesia. Tentunya ini tidak lepas dari nilai pendidikan lokal yang menjadi warisan para pendahulu, seperti nilai yang terkandung dalam sistem pembelajaran sorogan (individual) dan wetonan (kolektif), yang di dalamnya memuat nilai ashlah yang pada akhirnya akan membentuk mental dan keperibadian santri—sebagai pelajar di pesantren. Dalam pada itu, pesantren juga memiliki nilai-nilai universal keagamaan semisal zuhud, wara’, tawakkal, sabar, tawadhu’, ikhlas dan sebagainya.
Nilai-nilai pendidikan pesantren semacam ini (baca: lokalitas pendidikan), jika melihat dari sistem pendidikan yang diterapkan di Annuqayah, setidaknya dapat diaktualisasikan pada era digitalisasi untuk dijadikan acuan. Sebab, pendidikan pesantren (utamanya pesantren yang beridentitas semimodern semacam Annuqayah) ternyata masih memegang teguh nilai-nilai pendidikan berkearifan lokal, walaupun pada sistem pendidikan formalnya mengadopsi sistem pendidikan modern.[4]
Jargon ‘menjaga nilai tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik’ yang diterapkan di berbagai pesantren semimodern, memang sangat pas jika dihadapkan pada persoalan zaman yang kian “barbar” ini. Sebab, jargon uni merupakan spirit di mana warisan “kekayaan pendahulu” yang bernilai ashlah masih tetap dipertahankan, untuk kemudian disejajarkan kedudukannya dengan “paham baru” yang diadopsi dari perkembangan zaman, dengan tetap bijak menyikapi perubahan sebagai konsekuensinya.
Akan tetapi belakangan muncul kekhwatiran dari para pengelola lembaga pendidikan pesantren akan pudarnya nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh para pendahulu. Kekhawatiran ini muncul seiring kebijakan pemerintah Departemen Agama (Depag) bahwa sistem maupun kurikulum sekolah (wabilkhusus sekolah yang berbasis di pesantren) akan disamabentukkan dengan sistem pendidikan nasional. Konsekuensi dari ini, pesantren tentunya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya, walaupun dalam beberapa hal masih sedikit ada perbedaan. Akan tetapi, kekhawatiran ini tentu menjadi tanda bahwa nilai-nilai pendidikan pesantren (khususnya yang bersifat lokal) akan tergerus.
Lebih dari itu, era digitalisasi sebagai spirit globalisasi-modernisasi seakan bertentangan atau bahkan “dipertentangkan” dengan nilai-nilai lokal, yang pada orientasinya akan mereduksi kekayaan lokal. Di satu sisi, era digitalisasi dianggap akan memberikan kontribusi bagi kemajuan manajemen pendidikan (pesantren) yang mengarah pada hal yang bersifat progress. Tetapi di sisi lain, dengan spirit demikian pada akhirnya akan menggerus nilai lokal, berupa tidak terikatnya pesantren pada figur kyai sebagai tokoh sentral seperti yang terjadi di pesantren modern,[5] misalnya. Jika tidak ada upaya pengintegrasian kedua cara pandang ini, pada gilirannya akan menciptakan konflik intern sehingga akan mengancam eksistensi pendidikan pesantren itu sendiri.

C.    Aktualisasi Nilai Pendidikan Pesantren di Era Digital
Di sinilah pentingnya kita mengaktualisasi nilai-nilai (berkearifan lokal) pendidikan yang terkandung dalam pesantren untuk kemudian dikontekstualisasikan pada berbagai dinamika zaman. Pengaktualisasian ini secara umum berorientasi pada pengintegrasian kedua cara pandang di atas, sehingga dapat mengaktualisasi nilai-nilai kearifan lokal, demi menyelematkan nilai pendidikan pesantren di era digitalisasi. Upaya ini juga bertujuan bagaimana pesantren dapat menjadi wahana “perdamaian” antara nilai: lokalitas dan modernitas, tentunya dengan terus bersikap kritis, selektif, dan arif terhadap berbagai perkembangan.
Oleh karena itu, tawaran qaidah al-muhafadzatu ala al-qadiimisshalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah (menjaga nilai tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik), setidaknya ada dua misi penting. Pertama, pelestarian nilai (lokal) yang terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Dalam perspektif ini, sebagaimana menurut Fathorrahman Hasbul ketika mengutip gagasan Gus Dur yang dikutip Abdurrahman Mas’ud MA, Ph. D, pelajaran yang ditawarkan dalam pendidikan pesantren berupa literatur universal yang dipelihara dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, langsung berkaitan dengan konsep unik kepemimpinan kyai. [6] Kandungan yang ada dalam kitab turats atau kitab kuno (dilihat dari perspektif modern) harus dapat memberikan kesinambungan bagi the right tradition atau al-qadim as-shalih.
Kedua, mengadopsi nilai baru yang dapat berkontribusi bagi mineset yang terefleksi dalam way of life pesantren ke depan. Ini penting dilakukan agar pesantren tidak melulu diklaim sebagai pendidikan tradisional, konservatif, kumuh, karena telah berhadapan, baik secara langsung atau tidak, dengan era digitalisasi. Tentunya dengan tetap mengaktualisasikan nilai-nilai universal sebagai kekayaan pesantren sejak dulu. Sehingga dengan demikian, output pesantren tidak gagap menghadapi perkembangan zaman yang tak bisa dibendung ini.
            Kedua misi di atas, diharapkan dapat dijadikan sebagai pijakan untuk pesantren dalam melangkah menempuh era digitalisasi yang kini tengah dihadapi. Supaya pasantren nantinya tetap menjadi “pioner” pendidikan di tengah maraknya komersialisasi dan digitalisasi pendidikan di Indonesia.

D.    Penutup
            Dari deskripsi logis di atas, perkembangan era digitalisasi dewasa ini memaksa manusia mempunyai cara pandang instan. Ketergantungan kepada teknologi secara berlebihan ternyata telah menjadikan manusia sebagai masyarakat bisu (silent society). Pesantren yang pada mulanya merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang lahir dari, oleh dan untuk masyarakat, utamanya masyarakat pedesaan, kini harus bersiap diri untuk ikut berperan aktif dalam perubahan. Perngaktualisasian nilai pendidikan pesantren menjadi solusi alternatif, sehingga nilai-nilai universal pendidikan pesantren dapat terselamatkan dari gempuran era digitalisasi kini.
Akhirnya, tulisan ini semoga tidak dianggap mendoktrin pesantren secara besar-besaran, tetapi hanya sebagai upaya merekonstruksi menuju pesantren masa depan. Wallahu A’lam bisshawab.


[1] Globalisasi adalah sebuah istilah yang lahir dari dinamika international yang mengindikasikan adanya integrasi secara global dalam bidang ekonomi, pendidikan, budaya dan politik (lihat: Andi Widjajanto, Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: 2007), hal. 01
[2] Ibid. hal. 06
[3] Untuk memahami konsep manusia tergantung sebagai masyarakat bisu (silent society), dapat dilihat dalam: Paulo Freire, The Politic of Education: Cultur, Power, and Liberation, (Yogyakarta: 2007), hal. 132
[4] Lebih jelas, lihat: Hamdan Farchan dan Syarifuddin, Titik Tengkar Pesantren; Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren, (Yogyakarta: 2005), hal. 02
[5] Pesantren modern biasanya mempunyai ciri-ciri, antara lain; (1) memiliki manajemen dan administrasi dengan standar modern; (2) tidak terikat pada figur kyai sebagai tokoh sentral; (3) pola dan sistem pendidikan modern dengan kurikulum tidak hanya ilmu agama tetapi juga pengetahuan umum; (4) sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan dan teratur, permanen dan berpagar. Untuk mengetahui lebih luas lihat: Hamdan Farchan dan Syarifuddin, Titik Tengkar Pesantren……………hal. 01
[6] Dikutip secara bebas dari makalah: Fathorrahman Hasbul, Reaktualisasi Dinamika Pesantren Di Era Modernitas (Rekonstruksi Membangun Pesantren Masa Depan) tahun 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar