Oleh Muhammad Mihrob
A. Pengantar
Pesantren
disinyalir sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sejak Walisongo
membawa peradaban Islam ke tanah Jawa, pesantren mulai dikenal dengan lembaga
pendidikan yang dinilai unik. Keunikan itu tergambar dari sistem pembelajaran
atau pendidikan yang menerapkan manajemen full day school. Sehingga tak
salah jika pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan yang paling sukses
mencetak kader-kader bangsa yang kompeten, bukan hanya di bidang ilmu
keagamaan, tetapi pesantren juga melahirkan kader bangsa yang mempunyai waasan
kontemporer dan menjadi penggerak bangsa.
Tak
jauh berbeda dengan Pondok Pesantren Annuqayah. Pesantren Annuqayah adalah
lembaga pendidikan Islam yang berdiri sejak tahun 1887. Annuqayah didirikan
oleh seorang musyafir yang bernama Kyai Haji Mohammad Syarqowi.[1]
Pada awal berdirinya, lembaga ini hanya berbentuk “surau” bagi masyarakat Guluk-Guluk
tempat buahhati para orangtua (baca: anak muda) belajar ngaji. Akan
tetapi, dari tahun ke tahun dan dalam perkembangannya, Pesantren Annuqayah
berkembang dengan pesat seiring dengan kebutuhan masyarakat sekitar Guluk-Guluk—yang
pada saat itu mendesak para pendiri—untuk mendirikan sebuah pesantren.
Sehingga, pada itulah Pesantren Annuqayah berdiri.
Sebagai
lembaga pendidikan Islam yang diakui salahsatu lembaga pendidikan terbesar di Madura,
Pesantren Annuqayah memiliki karakter unik. Hal itu terbukti dengan banyaknya
lembaga pendidikan formal[2]
dan non-formal yang ada di Annuqayah. Sebut saja seperti Madrasah Tsanawiyah 1 Annuqayah
(MTs), Madrasah Aliyah 1 Annuqayah (MA), SMA 1 Annuqayah, dan SMK Annuqayah.
sehingga tak pelak, banyaknya lembaga pendidikan formal di Annuqayah memberikan
kontribusi urgen bagi pengembangan pengetahuan seluruh santri Annuqayah.
Akan
tetapi, sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai karakteristik keagamaislaman,
Pesantren Annuqayah juga dihadapkan pada persoalan tidak jelasnya identitas.
Banyak kalangan, terutama dari pihak Pesantren Annuqayah sendiri, mempersoalkan
tidak jelasnya identitas. Pasalnya, pesantren yang dihuni 4431 santri[3]
ini tidak jelas, apakah identitas pendidikannya tradisionalis ataukah
pendidikan modernis. Sehingga, hal ini akan berdampak pada santri Annuqayah
sendiri.
Setidaknya
ada beberapa dampak yang akan dialami oleh santri dan siswa ketika dihadapkan
pada persoalan tidak jelasnya identitas pendidikan Annuqayah: pertama,
lemahnya santri dalam menguasai suatu materi ajar. Hal ini diketahui ketika
santri dihadapkan pada banyaknya materi ajar, sehingga mereka merasakan
kebingungan akan menggeluti pelajaran yang mana.
Kedua,
output pendidikan yang tidak mempunyai tujuan jelas. Ini
dilatarbelakangi karena ketika santri sudah keluar dari pesantren menjadi
alumni, santri cenderung kebingungan dalam menentukan orientasinya.
Kedua
dampak di atas, pada akhirnya akan memberikan “stigma miring” ketika dihadapkan
pada identitas santri itu sendiri. Karena walau bagaimanapun, sistem
pembelajaran yang pada identitasnya tidak jelas, akan mempengaruhi pola pikir
objek (yang pada waktu bersamaan juga menjadi subjek) pengajaran dari lembaga
pendidikan itu sendiri.
Tulisan
ini mencoba mengurai “benang merah” mengenai bagaimanakah sebenarnya identitas
pendidikan dan pengajaran yang ada di Annuqayah. Sehingga, melalui gagasan yang
sederhana ini, penulis bisa berharap dapat mempertegas pendidikan ala Annuqayah.
B. Dua
Sistem Pendidikan di Annuqayah
Pada beberapa
dasawarsa terakhir, Annuqayah mengalami perkembangan. Annuqayah mulai terbuka
pada berbagai aspek dinamika “jaman baru” yang dinamai modernisasi. Sebab,
modernisasi mempunyai dampak luar biasa bagi masyarakat Madura, sehingga Annuqayah
harus “berbenah diri” menuju “manajemen progresif” menghadapi berbagai
kemungkinan yang akan ditimbulkan oleh modernisasi. Dapat ditebak, Pesantren Annuqayah
telah melakukan reformasi metodologi pendidikan.[4]
Dari yang asalnya beridentitas tradisionalis berganti menjadi
tradisionalis-modernis. Artinya, Annuqayah, pada metode pengajarannya, bukan
hanya mempertahankan sistem pengajaran sorogan (individual) dan wetonan
(kolektif) yang merupakan ciri pendidikan tradisionalis, tetapi juga menerima
sistem pendidikan modern seperti sistem pengajaram “dialogis-dinamis-progresif”
yang berlangsung di sekolah formal. Sehingga, Annuqayah saat ini mempunyai dua
sistem pendidikan, yakni sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan
modern.
Dengan kedua
sistem pengajaran dan pendidikan demikian, Annuqayah hingga kini tetap
berlangsung. Keberlangsungan itulah sebenarnya merupakan tanda yang pada
akhirnya akan menegaskan identitas pendidikan di Annuqayah. Akan tetapi,
seperti dijelaskan di awal tulisan ini, bahwa pembelajaran bermodel dua sistem
itu kini banyak diresahkan oleh elemen di
Annuqayah, karena ketidakjelasan identitas. Tentu persoalan ini
merupakan persoalan akut yang telah lama “menggenang” di Annuqayah sendiri,
karena dapat berakibat pada santri dan siswa di Annuqayah.
Sehingga,
persoalan itu harus diselesaikan dengan menegaskan kembali identitas pendidikan
Annuqayah. Upaya ini dilakukan (sebisa mungkin) dengan mencoba membumikan
spirit Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah). Sebab, Aswaja sendiri merupakan
ideologi Pesantren Annuqayah yang hingga kini masih menjadi acuan bahkan
menjadi “kitab petunjuk” dalam menentukan langkah Annuqayah ke depan.
C.
Aswaja sebagai Ideologi dan Identitas
Ahlussunnah
wal Jama’ah (Aswaja) merupakan aliran (firqah)
Islam yang muncul pada ketika berakhirnya kepemimpinan Rasulullah Saw. yang kemudian
dilanjutkan oleh periode Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar R.a., Umar R.a.,
Utsman R.a., dan Ali K.w.). Aliran ini merupkan jalan tengah (wasath)
bagi kedua paham, yakni faham Qadariyah (yang percaya bahwa manusia mempunyai
otoritas penuh atas dirinya sendiri dan menghilangkan kuasa Tuhan atas diri
manusia) dan faham Jabariyah (yang I’tikadnya berlawanan dengan Qadariyah).[5]
Aswaja mulai dikembangkan oleh ‘Alimul ‘Allamah Abu Hasan Al-Asya’ari (260-324
H) dan Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333 H).[6] Karena
memang, kedua ulama itu mempunyai kapasitas intelektual di bidang Ushuluddin dan
mempunyai perhatian khusus terhadap kondisi sosio-kultur masyarakat.
Sehingga, Aswaja
menjadi ideologi bahkan madzhab yang dalam praktiknya menjadi mudah dan tidak njelimet.
Mungkin inilah yang menjadi alasan kenapa Annuqayah berkiblat pada Aswaja.
Prinsip yang
menegaskan karakter yang berhaluan Aswaja hingga kini tetap merupakan spirit
bagi keberlangsungan pendidikan Annuqayah. Prinsip tersebut antara lain adalah:
pertama, ta’addul (equal), bersikap adil dalam menentukan dan
memutuskan sesuatu.
Kedua, tasamuh
(tolerance), toleran terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi
dalam mengawal modernitas dengan segala tetek-bengeknya. Ketiga, tawasuth,
moderat.
Keempat, tawaazun
(balance), berpikir dan bersikap seimbang, tidak lantas “mencemooh”
perbedaan yang ada, berupaya mencari format terbaik dalam menjalankan dan
menentukan sesuatu. Tak salah jika kemudian Annuqayah meletakkan Aswaja sebagai
dasar sejak masa berdirinya oleh KH. Mohammad Syarqowi dahulu, sampai masa
berkembangnya.
Lantas, jika
dihadapkan pada persoalan tidak jelasnya identitas pendidikan dan pengajaran di
Annuqayah—karena (seakan) ada percampurbauran antara sistem pendidikan modern
dan tradisional, maka prinsip tawaazun menjadi solusi tepat demi
menegaskan kembali identitas pendidikan di Annuqayah. Sebab, prinsip tersebut
pada praktiknya merupakan salah satu identitas bagi Annuqayah yang menjadi
acuan hingga kini.
Di sinilah perlu
dijelaskan tentang implementasi tawaazun dalam menegaskan identitas
pendidikan Annuqayah. Yakni, dengan berkiblat pada qaidah al-muhafadzatu ala
al-qadimis shalih wal akhdzu bi al-jadiidil ashlah (menjaga tradisi atau
budaya lama yang baik dan mengambil tradisi atau budaya baru yang lebih baik).
Qaidah itu setidaknya merupakan spirit bagi pengembangan Annuqayah kini dan
masa depan. Ternyata betul, ketika kita melihat perkembangan Annuqayah saat
ini, kita akan dipertemukan dengan realitas bahwa Annuqayah mempunyai sistem
pendidikan tradisionalis dan sistem pendidikan modernis.
Antara kedua
sistem pendidikan itu, Annuqayah telah mengamalkan tawaazun dan telah
menegaskan prinsipnya, yakni “prinsip keseimbangan”. Prinsip keseimbangan
merupakan spirit di mana Annuqayah mencoba memadukan kedua sistem pendidikan,
yaitu dengan mempertahankan “titipan” dari para pendahulu dan mengembangkan
pendidikan modern yang merupakan “produksi” para generasi muda di Annuqayah.
Setidaknya, ada
beberapa alasan kenapa penulis meletakkan tawaazun sebagai metode yang
mampu menegaskan identitas pendidikan Annuqayah.
Pertama, sebuah
institusi pendidikan, baik secara kualitas maupun kuantitas, harus mampu
menunjukkan eksistensinya dan sumbangsihnya kepada masyarakat di tengah
kemajuan yang dicapai oleh dinamika zaman. Sebab, dengan adanya perkembangan
zaman yang kian kompleks, Annuqayah setidaknya juga harus ikut andil. Jika
tidak, sama saja Annuqayah “memenjarakan diri” dan tidak mau menatap
perkembangan dan pembangunan modern. Maka, adalah keharusan jika berbagai upaya
dilakukan Annuqayah. Salah satunya adalah dengan “menginvestasi” kekayaan modern
berupa masuknya teknologi—sebagai salah satu trend modernisme.
Contoh kecilnya
seperti di Madrasah Aliyah 1 Annuqayah (MA 1 A). MA 1 A, awalnya memang
merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai basic sistem
pendidikan berkarakter “posttradisionalis”—dalam istilahnya penulis. Sistem
pendidikan posttradisionalis merupakan sistem pendidikan yang dalam
pengajarannya tidak lepas dari karakter pendidikan modern pada tahap awal,
tetapi dari segi kelengkapan fasilitas masih mengalami krisis. Pada dasawarsa
terakhir ini, MA 1 A mulai mengembangkan sistem pendidikan yang menggunakan
teknologi sebagai basis pendidikan modern. Bahkan, kini MA 1 A merupakan
satu-satunya lembaga swasta di Annuqayah yang (dapat dikatakan) memiliki
kualitas lebih di bidang IPTEK. Terbukti pada tahun ini, MA 1 A meraih
akreditasi A dan membuka jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan
beroprasinya Laboratorium IPA.
Kedua,
mempertahankan “kekayaan lama”[7] di
Annuqayah yang tentu bernilai ashlah sebagai media kontrol. Hal ini
dimaksudkan agar Pesantren Annuqayah memiliki identitas sebagai lembaga
pendidikan yang masih berkiblat pada ajaran Islam dan lebih mementingkan
keagamaan serta mempunyai pegangan. Jika kemudian Annuqayah mampu
mempertahankan tradisi dan kekayaan yang diwariskan oleh para pendirinya sebagai
pijakan dalam mengambil budaya baru, maka Annuqayah akan bisa menjadi lembaga
pendidikan berkarakter yang mampu dipertanggungjawabkan kualitas
(keilmuan)-nya.
Contohnya
seperti lembaga Madrasah Aliyah Tahfidz (MAT). MAT merupakan lembaga pendidikan
yang berada di bawah naungan Yayasan Annuqayah. MAT eksis dengan karakter
keagamaan yang ditandai dengan mendominasinya ilmu agama. Tak salah jika MAT bertujuan
untuk membentuk santri yang memiliki kualitas keilmuan di bidang keagamaan.
Salah satunya adalah dengan membekali kemampuan membaca kitab Turats dan
menghafal Al-Qur’an.
Kedua alasan dan
contoh di atas setidaknya telah menegaskan bahwa pesantren Annuqayah memiliki
identitas “jelas” sebagai lembaga pendidikan Islam yang berupaya mengembangkan
potensi santri di berbagai bidang, sesuai dengan bakat dan minat masing-masing
santri atau siswa. Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Drs. KH. A. Warits
Ilyas (pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa) bahwa, Annuqayah merupakan
“ladang”, tempat di mana segala potensi dapat disemai hingga bisa dipetik
hasilnya.
D. “Semi
Modern” sebagai Identitas Pendidikan Annuqayah
Dalam
suatu kesempatan berbeda, ketika mengikuti proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
yang berlangsung di kelas (21/02), penulis pernah menyimak apa yang dijelaskan
oleh K. M. Mushthafa (salah seorang guru Etika di MA 1 Annuqayah). Beliau menjelaskan
bahwa, hakikat pendidikan sebenarnya pada akhirnya berorientasi “nilai”. Ada
nilai yang harus dipertahankan dan ada nilai yang harus dikembangkan. Begitupun
di Pesantren Annuqayah. Lembaga pendidikan yang mempunyai dua sistem pendidikan
semisal Annuqayah, sebenarnya bukan tidak memiliki identitas yang jelas. Justru
dengan kedua sistem itulah Annuqayah mampu menegaskan identitasnya sebagai
lembaga pendidikan Islam yang progresif dan mempunyai komitmen dalam membentuk
santri yang ideal dan bisa berguna, kelak ketika terjun di masyarakat. Tak
salah jika tujuan Annuqayah secara umum adalah “lahirnya generasi abdullah
yang bertakwa, mutafaqqih fiddin, berilmu luas dan menjadi mundzirul
qaum.”
Tentang
identitas pendidikan Annuqayah sebenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Yakni, dengan dasar Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dan dengan visi
keilmuan bahwa, “Pondok Pesantren Annuqayah tidak mendikotomi ‘ilmu agama’ dan
‘ilmu umum’, tetapi semua ilmu adalah dari Allah SWT”—seperti yang ditulis
dalam buku Profil Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura.[8]
Dengan
inilah, jika penulis boleh tegaskan, pendidikan Annuqayah beridentitas “semi
modern”. Semi modern merupakan sebuah fase di mana seluruh upaya yang telah
dilakukan mengalami perkembangan dan mencoba terus-menerus dikembangkannya.
Sehingga, sistem pendidikan pesantren semi modern (semisal di Annuqayah) adalah
sebah upaya untuk mengimbangi antara pendidikan tradisional (yang bergerak di
bidang pertahanan sekaligus pemupukan moral-spiritual peserta didik) dan
pendidikan modern (yang bergerak di bidang pengembangan peserta didik agar bisa
berperan di tengah kompleksitas perkembangan zaman).
Model
semacam inilah yang kini menjadi identitas pendidikan Annuqayah. sebuah model di mana tidak hanya terpaku pada satu
disiplin ilmu saja. Tetapi, lebih pada pengembangan potensi sesuai dengan minat
dan bakat peserta didik. Sehingga wajar jika banyak kegiatan yang terdapat pada
semua lembaga pendidikan di Pondok Pesantren Annuqayah. Salah satunya adalah
kegiatan sanggar (semisal Sanggar Andalas), komunitas penulis (misal Kelompok
Ilmiah Santri/KIS), kegiatan kepramukaan, dan kegiatan organisasi, baik
organisasi semacam OSIS (yang terdapat pada lembaga pendidikan formal) maupun ORDA/Organisasi
Daerah (yang terdapat di lembaga pesantren).
Setidaknya,
ada beberapa hal yang menjadi tujuan pendidikan semi modern di Annuqayah. pertama,
membentuk pribadi santri dan siswa yang berwawasan ilmu keagamaan (tafaqqahu
fiddin) sebagai bekal ketika terjun ke masyarakat. Hal ini dianggap penting
karena sebagai seorang santri, seyogianya harus faham terhadap persoalan agama
yang ada di masyarakat. Tentunya dengan mengacu pada ideologi Aswaja sebagai
dasar pendidikan di Annuqayah.
Kedua,
membentuk pribadi santri dan siswa yang siap menghadapi berbagai tantangan
globalisasi-modernisasi. Upaya ini dapat dilihat dari lembaga pendidikan formal
yang sudah membuka jurusan IPA berbasis teknologi dan ilmu alam. Semisal di SMA
Annuqayah dan MA 1 Annuqayah. Sehingga, dengan pengelolaan yang cukup baik,
peserta didik (wabil khusus santri) diajak untuk memahami ilmu alam dan mencoba
melakukan penelitian dan pengasahan produktivitas di bidang Ilmu Alam.
Ketiga,
membentuk santri dan siswa yang mempunyai keterampilan atau skill
tertentu. Hal ini ditandai dengan adanya kegiatan-kegiatan yang beragam (mulai
dari seni, sastra, organisasi, KIR sampai pada kepramukaan) yang ada di Annuqayah.
sistem pendidikan semi modern memiliki indikasi bahwa peserta didik dituntut
untuk bebas dalam memilih dan menentukan bidang studi yang mereka minati.
Sebab, dengan cara inilah peserta didik akan mampu fokus pada bidang studi yang
ingin mereka kembangkan, yakni dengan bebas memilih. Peserta didik yang bebas
menentukan dan memilih bidang studi tertentu sesuai dengan minat dan bakatnya,
akan berbeda hasilnya daripada peserta didik yang cenderung “didorong” dan
“dipaksa” untuk menggeluti bidang studi yang (bisa saja) tidak mereka minati.
Keempat,
menciptakan santri dan siswa yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja)
dan berpegang pada ajaran dan syariat Islam.[9] Nah,
di sinilah sebenarnya nilai penting yang mampu menegaskan identitas pendidikan
Annuqayah. Peserta didik (khususnya santri) dituntut untuk bisa mengaplikasikan
keilmuannya dengan berpedoman pada nilai-nilai yang terkandung di dalam Aswaja—yang
merepresentasikan prinsip dalam bersikap adil (ta’adul/equal), toleran (tasamuh/tolerance),
dan moderat (tawassuth/moderat), serta berpikir dan bersikap seimbang (tawaazun/balance).
Sebab, ini pada akhirnya akan berindikasi pada terbentuknya peserta didik (baik
santri maupun siswa) Annuqayah yang memiliki kemampuan memadai sebagai khalifah
fi al-ardh yang berilmu dan berwawasan luas serta bisa menjadi mundzirul
qaum—seperti cita-cita pengasuh Annuqayah. Sehingga, Annuqayah pada
prinsipnya akan menegaskan identitas dan karakter pendidikan semi modern yang
hingga kini berlangsung di Annuqayah.
Dengan
ke empat tujuan inilah, setidaknya pendidikan semi modern ala Annuqayah dapat
menemukan irama permainan terbaiknya. Demi mengawal modernitas, melalui sistem
pendidikan semi modern, Annuqayah dapat menjadi institution power of
quotien di tengah-tengah masyarakat sebagai lembaga pendidikan yang tidak
mendikotomi “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Sehingga, dengan metode pendidikan
semi modern, santri dan siswa Annuqayah mampu berperan di tengah terjangan arus
globalisasi-modernisasi. Semoga! Wallahu a’lam bisshawab
*tuisan ini diikutkan pada Lomba Menulis Artikel yang diadakan oleh
Panitia Pekan Raya Ilmiyah Perpustakaan MA 1 Annuqayah, dan berhasil meraih
Juara II dalam lomba tersebut
[1] KH. Mohammad Syarqowi
berasal dari Kudus, Jawa Tengah, merantau ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama.
Beliau bersahabat dengan salah seorang mukimin dari Parenduan, Madura yang saat
itu bersama istrinya. Tapi, selang beberapa saat, mukimin itu meninggal dan KH.
Syarqowi diamanatkan untuk menikahi istri mukimin itu. Sehingga, KH. Syarqowi
tinggal di Madura.
[2] Lembaga
pendidikan formal adalah institusi pendidikan yang dalam sistemnya mengacu pada
kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah pendidikan Nasional (Kemendiknas)
dan pemerintah agama (Depag). Berbeda dengan pendidikan non-formal yang dalam
sistemnya dibentuk melalui kebijakan dari stakeholders dalam lembaga
pendidikan itu sendiri, tidak mengacu pada kebijakan pemerintah seperti
pendidikan formal.
[3] Data jumlah
santri ini berdasar pada Update data PP Annuqayah pada tahun pelajaran
1430-1431/1009-2010. Sedangkan berdasar tahun 2009 tentang jumlah siswa Annuqayah
yaitu sebanyak 6323 (lihat: Profil Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk
Sumenep Madura, Pusat Data PP. Annuqayah: 2010), hal. 03
[4] Reformasi
metodologi pendidikan ini juga didasarkan pada kebutuhan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu yang nampak di Annuqayah adalah dengan
diadakannya Biro Pengembangan Masyarakat (BPM) yang pada tahun ini dikelola
oleh K. M. Zamiel Muttaqin dan Panji Taufiq. Lihat juga: Abd. A’la, Melampaui
Dialog Agama, (Jakarta: 2002), hal. 123
[5] Tuntaskan
pada: Aswaja di Annuqayah Dalam Ancaman, (Majalah MUARA Edisi XXXIII,
2011), hal. 25
[6] Pengembangan
ini ditandai dengan adanya pemaduan antara dalil ‘aqli dan dalil naqli.
Ibid., hal. 25
[7] Kekayaan lama
merupakan potensi Annuqayah yang sejak dulu sudah tertanam kuat dan menjadi
akar sejarah bagi perkembangan pendidikan Annuqayah. Contohnya di sini adalah
sistem pendidikan tradisional yang ditandai dengan “kitab kuning” atau kitab
turats sebagai karakter dan identitas bagi pesantren Annuqayah
[8] Lebih jelas,
tuntaskan pada Profil Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura,
(Pusat Data Pondok Pesantren Annuqayah: 2010), hal.-
[9] Aswaja
mempunyai acuan utama dalam hal keilmuan, baik di bidang Fiqih, Tauhid maupun Tashawwuf.
Di bidang Tauhid mengacu pada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
Di bidang Fiqih mengacu pada Madzhabul Ar-Ba’ah, yaitu Imam Syafi’ie, Hanafi,
Hambali dan Maliki. Sedangkan Tashawwufnya mengacu pada konsep-konsep Tashawwufnya
Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazaly dan Imam Juneid Al-Baghdady. (lebih
jelas, tuntuskan pada: makalah berjudul Mengenal Warna Aswaja PMII:
2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar