Oleh Muhammad Mihrob
BAB I
PENDAHULUAN
GEMPURAN
ERA GLOBALISASI
Globalisasi[1]
mengibaratkan ‘naga’ yang menakutkan dan sewaktu-waktu akan menyemburkan api
panas pada semua aspek kehidupan. Dengan ideologi yang dibawanya:
neoliberalisme, imperialisme, dan globalisme baik dalam pemikiran (ideologi)
maupun dalam tataran praksis (etika dan norma kehidupan)[2].
Di satu sisi, globalisasi mendengungkan kemajuan di bidang perekonomian,
tetapi, harus diakui bahwa kehadiran globalisasi juga akan menjadi ‘illat’
tersendiri bagi keberlangsungan negara Indonesia secara umum. Utamanya, pada
aspek budaya yang merupakan hakikat eksistensi estetika, etika dan spritualitas
suatu suku bangsa bernama Indonesia.
Di Indonesia, kehadiran globalisasi ditandai denga adanya
suatu pembentukan karakter yang bersifat formal, administratif, dan sangat
terstruktur dalam hal apapun, baik dalam ranah hukum-kenegaraan, maupun dalam
skala mikro berupa kebudayaan masyarakat kelas bawah (grass roots cultur
society). Mungkin pada titik ini bisa dimaklumi, sebab pembentukan karakter
itu sewaktu-waktu memang diperlukan untuk menegaskan bagaimana suatu eksistensi
itu berlangsung dalam kehidupannya. Akan tetapi, ketakutan masyarakat, yakni
tusukan era globalisasi yang dilakukannya pada aspek kebudayaan yang merupakan
hasil cipta-karya para pendiri bangsa ini. Utamanya kebudayaan yang ada di
suatu daerah yang dinilai unik. Seperti di Madura.
Di Madura, berbagai kebudayaan adalah hasil cipta-karya yang
diwariskan oleh masyarakat terdahulu atau bisa kita sebut dengan nenek moyang.
Kebudayaan itu mengandung nilai yang harus diakui kualitasnya. Estetika, etika,
dan karakter kebudayaan yang has Madura adalah nilai ashlah yang
sejatinya perlu kita pikirkan bersama. Berbagai simbol kebudayaan yang
mengandung nilai, seperti kerapan sapi, keris, batik dan lainnya, maupun berupa
nilai moral kesopanan dan kerjasama antarmasyarakat, adalah warisan dari
masyarakat pendahulu yang tidak boleh kita abaikan. Setidaknya, dengan
mengapresiasi kebudayaan tersebut pada akhirnya akan menegasakan karakter dan
kepribadian masyarakat Madura secara umum.
Akan tetapi, kini keresahan dari kalangan masyarakat Madura seakan
menemukan titik klimaksnya, ketika globalisasi menjadi ‘racung terselubung’
dengan segala paham yang diproduksi oleh Barat, telah mempu menusuk eksistensi
kebudayaan lokal di Madura. Hilangnya sekat-sekat etika-moral antara budaya
“barbar” dan kebudayaan lokal,[3]
menjadi kegelisahan tersendiri bagi para pemuka (seperti kyai, budayawan dan
akademisi) di wilayah Madura. Dan pada saat yang sama, generasi muda Madura kurang
apresiatif pada kebudayaan mereka sendiri, bahkan cenderung menganaktirikannya.
Sehingga, penulis anggap penting jika penegasan dan pembumian kembali
nilai-nilai (etika dan estetika) kebudayaan dilakukan secara masif dan optimal.
Sebab, mulai beberapa dasawarsa terakhir, masyarakat Madura dipersepsikan
sebagai masyarakat dengan kebudayaan yang “jelek” karena berwatak keras, kasar,
dan seakan tak kenal ramah. Padahal, persepsi itu tidak bisa dibenarkan secara sembrono
saja. Hanya melihat “yang diluar” tanpa memahami apa “yang didalam” adalah
pekerjaan yang tergesa-gesa, keliru bahkan mutlak disalahkan.
Jika dirunut kenyataannya, persepsi itu kian runtuh ketika
dipahamkan pada nilai filosofi kebudayaan Madura. Nilai etika dan estetika yang
dilahrikannya ternyata telah mampu membenamkan pesimisme dengan cara
terus-menerus mencitrakannnya pada kolektivitas keseharian masyarakat.[4]
Upaya demikian penting dilakukan dengan menamkan dan
menegaskan kembali nilai etika dan estetika kebudayaan secara esensial dan
subtansial, niscaya akan selalu meneguhkan kebudayaan Madura dari gangguan
‘luar’ berupa globalisasi dengan segala tetek-bengeknya. Sebab, kebudayaan akan
menemukan relasi dan spritnya kembali bagi generasi berikutnya jika nilai etika
dan estetikanya tetap terjaga dan bahkan bisa selalu dikontekstualisasikan pada
berabgai perkembangan zaman.
Pada titik inilah pentingnya kita mengafirmasi kembali nilai
kebudayaan Madura. Sebab, di antara empat komponen yang ada dalam suatu
kebudayaan—yakni estetika, etika
intelektual dan spiritual--,[5]
aspek etika dan estetika adalah komponen penting yang harus selalu dikembangkan
demi menegaskan identitas kebudayaan masyarakat (Madura) ke depan. Tulisan ini
mecoba menegaskan kembali nilai etika dan estetika kebudayaan Madura yang saat
ini tengah diterjang kebudayaan yang lahir dari era modernisme dan westernisme
sebagai anak dari globalisasi. Dengan upaya inilah kemudian kebudayaan Madura
diharapkan dapat terselamatkan dari gempuran globalisasi.
BAB
II PEMBAHASAN
AFIRMASI
NILAI ETIKA DAN ESTETIKA KEBUDAYAAN MADURA
A. MAKNA
ETIKA DAN ESTETIKA KEBUDAYAAN
Di desa
penulis (Angsanah Bragung, Sumenep), orang yang nampah cangkem[6]
dihukumi haram atau tidak diperbolehkan oleh masyarakat, terutama oleh kalangan
tetua semisal nenek dan sederajat. Alasannya sederhana, karena orang yang nampah
cangkem akan menemui kesusahan dalam kehidupan selanjutnya. Benarkah
demikian? Untuk orang yang tidak berpikir mungkin akan mengatakan: “Mon
nampah cangkem, arapah keng?!”[7]
Sejenak,
mungkin kita harus mempertanyakan ungkapan yang sedikit bernada selidik itu.
Karena, menurut hemat penulis, semua tradisi (berupa tidak diperbolehkannya nampah
cangkem) yang terbangun di salahsatu lingkungan masyarakat (khususnya di Madura)
pasti memiliki nilai yang harus kita renungkan. Ketidakbolehan nampah
cangkem, sebenarnya merupakan kekayaan (berupa keyakinan) lokal yang harus
dipikirkan dan dilestarikan. Sebab, jika kasus ini dirujuk kembali maknanya
bahwa nampah cangkem adalah tanda orang yang sedang mengekspresikan
tidak adanya ghirah bahkan minat untuk hidup, sehingga benar jika orang
yang nampah cangkem pada akhirnya akan menemui kesusahan dalam kehidupnya.
Tetapi,
sebenarnya bukan nampah cangkem ini yang dijadikan objek perhatian,
melainkan tidak diperbolehkan itulah yang harus kita pikirkan. Bahwa
masyarakat Madura sangat hari-hati dalam segala hal, utamanya dalam pola
prilaku (atau dalam bahasa Maduranya: “Tengka”).
Sama
halnya denga tradisi nenek moyang tempoe doeloe, yang kemudian dijadikan
sebuah kebudayaan. Kebudayaan yang diilhami oleh rasa keyakinan terhadap
sesuatu yang bernilai etika, estetika, spiritual dan dapat dijadikan sebagai
pengetahuan bagi masyarakat Madura. Yang bernilai ini tidak lepas dari faktor
historis sehingga dapat ditegaskan menajdi sebuah kebudayaan yang harus
dilestarikan dan dipertahankan.
Contoh
tidak diperbolehkannya nampah cangkem di atas hanya bagian kecil dari
kekayaan masyarakat lokal yang lahir dari nenek moyang yang bernilai. Masih
banyak tradisi yang dijadikan kebudayaan oleh masyarakat Madura. Kekayaan lokal
yang harus selalu diselamatkan, diperhatikan dan dipikirkan untuk
dikontekstualisasikan pada berbagai dinamika zaman.
B. AFIRMASI
NILAI ETIKA DAN ESTETIKA KEBUDAYAAN
Meminjam
bahasanya Budiono, MA (2005),[8]
afirmasi adalah peneguhan; penetapan yang positif; pernyataan atau pengakuan
yang sungguh-sungguh terhadap sesuatu yang dianggap berharga dan penting
diperhatikan (cetak miring dari penulis). Afirmasi mempunyai misi
menguatkan dari dalam (power of intern) sehingga menegaskan potensi
(etika dan estetika) sebuah eksistensi berupa kebudayaan dalam suatu masyarkat
adat. Afirmasi nilai kebudayaan merupakan metode paling efektif dalam
melestarikan dan menyelamatkan kebudayaan dari gempuran globalisasi.
Aplikasi
metode afirmasi ini, ada tiga substansi yang perlu dikembangkan dalam
menegaskan kebudayaan Madura. Pertama, penghayatan nilai melalui
pengetahuan tentang sejarah kebudayaan Madura. Misi ini dimaksudkan supaya
memahamkan kembali bahwa suatu kebudayaan di Madura mempunyai nilai etika dan
estetika tersendiri yang harus selalu dipraktikkan dalam kehidupan berbudaya
dan bermasyarakat.
Kedua,
implementasi (manfaat) nilai etika dan estetika kebudayaan bagi kehidupan
masyarakat Madura dalam berbudaya dan bermasyarakat. Kegunaan adanya nilai
etika dan estetika dalam kehidupan dalam masyarakat adalah hal wajib
dipertahankan, sehingga pada akhirnya masyarakat menyadari bahwa mempertahankan
dan menyelamatkan kebudayaan Madura harus diletakkan di garda depan.
Ketiga,
menjadikan nilai kebudayaan sebagai acuan utnuk menempuh kehidupan masa depan
masyarakat, dengan terus melakukan kontekstualisasi dan aktualisasi pada
berbagai dinamika zaman. Masyarakat harus bisa menyaring kebudayaan baru dengan
tetap memprioritaskan kebudayaan asal mereka agar menjadi masyarakat yang
berbudaya, tentunya dengan nilai etika dan estetika yang ada di dalamnya.
Fokus
atau objek dari tiga aspek di atas, sebenarnya mengacu pada kebudayaan yang
sedikit peminat, bahkan nyaris ditinggalkan dan dianggap tidak perlu. Padahal,
bukan waktunya dilupakan, karena bisa menajdi acuan bagi perjalanan hidup
masyarakat di masa sekarang dan masa depan. Indikasi dari upaya pengafirmasian
ini adalah penanaman kembali spirit masa lalu, hingga diaktualisasikannya pada
era sekarang.
C.
KEBUDAYAAN MADURA DAN AFIRMASI NIALI ETIKA DAN ESTETIKA
Pada
titik ini, penulis akan mencoba mengurai kembali secara runtun nilai yang
terdapat pada sebagian kebudayaan Madura melalui metode afirmasi nilai etika
dan estetika kebudayaan di Madura, sehingga pada klimaksnya akan menegaskan
nilai etika dan estetika yang dikandung oleh berbagai tradisi dan kebudayaan di
Madura, wabil-khusus yang kini sedang tergerus nilai tawarnya, baik di
level regional dna nsional. Sehingga, untuk menyiasatinya, diperlukan suatu
metode afirmasi dalam menyelamatkan kebudayan Madura. Dengan mengacu pada
aplikasi metode afirmasi, sebagaimana telah terancang dalam bagian sebelumnya.
Dari
latar historisnya, Keris Madura[10]
sudah muncul pada sekitar abad ke-16 sampai ke-17. Keris mengalami masa kejayaannya
yaitu pada abad ke-18 sampai ke-19 ketika keris itu dianggap benda keramat yang
memiliki kekuatan magis yang dapat menyelamatkan dan melindungi penggunanya
dari berbagai kesulitan. Akan tetapi, berbeda dengan kenyataan yang terjadi
pada abad ke-21. Pada abad ini pengrajin seni mulai merubah persepsi. Keris
yang dibuat pada abad ke-21 ini hanya menampilkannya pada aspek estetikanya
saja, tidak menganggapnya sebagai benda yang mempunyai kekuatan magis seperti
pada abad sebelumnya.
Ada
berbagai tahap dalam pembuatan keris. Pertama, dilakukan dengan ritual
khusus yang disebut “Pojja”,[11]
semacam ritual dari sang empu (pembuat keris) yang meminta kepada Tuhan dengan
rendah diri lahirbatin, agar para pengguna keris bisa berkelakuan baik dan
dijauhkan dari perbuatan jelek dan melanggar dari norma. Biasanya, sang empu
akan membawa besi—yang akan dibuat keris—ke tempat yang ramai, apakah masih
bisa terlihat oleh orang atau tidak. Jika masih bisa dilihat, maka sang empu
akan mengulangi ritual itu.
Kedua,
setalah sang empu selesai membuatnya maka dilakukan “Penyempuhan”[12].
Ketiga, sang empu menguji kekuatan keris itu dengan menusukkannya ke
kulit kerbau putih yang telah dikeringkannya, di samping juga karena untuk
menguji kekerasan besi keris.
Bagi
masyarakat Madura, keris dapat dijadikan sebagai sikep (alat untuk
menakuti musuh). Mungkin ini biasa, tetapi menjadi tidak biasa ketika dengan
memakai keris itu bisa meningkatkan karakter kesatriaannya sehingga masyarkat Madura
akan tetap mempunyai identitas, yakni: “Masyarakat Kesatria”.[13]
Di titik inilah dapat diambil nilai etika dan estetika dari sebuah keris.
Jika
diaktualisasi pada kenyataan sosial Madura, masyarakat kesatria nyaris tidak
ada bakan lenyap. Ketika penulis melakukan wawancara untuk salah satu majalah (Muara
di PP. Annuqayah Lubangsa) kemaren (15-17/12), ada kenyataan yang tabu di
tempat keramaian (Sumenep sampai Sampang, utamanya daerah kota). Penulis melihat
masih ada masyarakat yang tauran, dengan miras di tangannya, aksi kekerasn dan
amoral. Sehingga, adalah hal yang dianjurkan bahkan wajib, jika nilai-nilai
kesatria diinternalisasikan pada kehidupan masyarakat.
Seorang
kesatria adalah orang (ramaja atau dewasa) yang mengutamakan pikiran jernih,
dingin, tanpa adanya aksi kekerasan fisik sama sekali sehingga mampu menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Dia bergerak menggunakan pemikiran daripada tindakan
anarkis. Pemikiran yang benar-benar terencana melalui berbagai pengalaman dan
pengetahuan yang diperolehnya, sehingga tindakannya pun dapat berguna bagi
kehidupan. Mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Mengutamakan
cinta-kasih bagi sesama manusia tanpa memandang perbedaan kelas sosial dan
profesinya.
Dus,
menjadi masyarakat kesatria dalam konteks Madura adalah hal yang mungkin, dengan
cara terus menerus mencitrakan nilai etika dan estetika yang terdapat pada
keris, sehingga dapat berguna bagi masyarakat Madura sekarang dan di masa yang
akan datang, demi menyelamatkan kebudayaan Madura dari gempuran
globalisasi-modernisasi yang tengah dihadapi.
2.
Memaknai Kembali Celurit Madura
Di
kabupaten Sampang, ada daerah bernama Ketapang; suatu daerah yang terletak
paling utara kabupaten Sampang. Udara yang panas dan ekspresi wajah
masyarakatnya yang (bisa dikatakan) kurang bersahabat, seakan menjadi
representasi kebudayaan yang ada di daerah itu. Konon, budaya (mengenakan)
celurit di sana sangat penting. Betapa tidak, jika ada orang yang sedang
berjalan di waktu malam, maka harus membawa celurit. Jika tidak, orang itu
dianggap angkuh oleh masyarakat sekitar, sehingga kemungkinan besar, dalam
perjalanannya, orang itu tidak akan selamat alias celaka.
Dari
gambaran ini, celurit menjadi penting untuk dikuak kembali. Sebab, mayoritas
masyarakat terlanjur menganggap bahwa celurit diidentikkan dengan budaya keras
dan menyeramkan. Bahkan parahnya, ini mengerucut pada kebudayaan masyarakat Madura.
Bisa jadi, begitu mendengar kata Madura, di situlah tergambar sebuah senjata
melengkung yang disebut “celurit”. Terlebih karena masyarakat memandang bahwa
celurit diidentikkan dengan “carok”. Sehingga penting untuk merekonstruksi
pemikiran yang bisa disebut “kiri” itu.
Pada
tataran sejarahnya, tidak ada yang tahu asal-usul munculnya nama celurit hingga
dikenal luas sampai detik ini. Hanya saja, di tempat asalnya (Madura), ada
sebuah pisau yang bernama “Arit”[14]
yang dipakai oleh petani untuk menyabit rumput di sawah atau ladang dan membuat
pagar di rumah. Tetapi pada perkembangannya, arit itu digunakan sebagai alat
utuk berlatih beladiri yang kemudian dijadikan senjata oleh rakyat jelata
ketika menghadapi musuh.[15]
Di Madura, banyak perguruan pancak silat[16]
yang menggunakan celurit untuk berlatih beladiri. Sebab, celurit mempunyai
makna filosofis dan penting untuk diaktualisasikan kembali melalui penegasan
makna dan nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga dapat dijadikan pedoman
bagi masyarakat Madura secara umum.
Peterongan,[17]
sebuah desa yang sebagian penduduknya menggantungkan hidupnya sebagai orang
yang memiliki profesi ‘pandai besi’ dalam membuat arit dan celurit. Keahlian
mereka adalah warisan dari para leluhur sejak tahun lampau. Bagi seorang pandai
besi bernama Salamun—salah seorang warga paterongan-, celurit tak hanya sekadar
benda tajam yang dipertahankan karena warisan dari para leluhur. Pembuatan
celurit parlu kehati-hatian dan ketelitian karena celurit lebih merupakan nilai
seni yang harus diapresiasi.
Dari
pembuatannya, sebelum membuat celurit, seorang pandai besi telah terbiasa
berpuasa bahkan setiap tahun, tepatnya pada bulan Maulid. Bahkan, tombuk[18],
yang digunakan utuk menempa besi, pantang untuk dilangkahi, apalagi diduduki.
Karena, menurut tradisi di Peterongan, jika ini dilanggar biasanya akan
berakibat sakit-sakitan pada si pelanggar.[19]
Dus,
di sinilah terdapat sebuah nilai etika dan estetika dalam suatu kebudayaan
masyarakat (khususnya di Peterongan). Nilai itu adalah: pertama, nilai
etika tergambar pada aspek spiritual degan berpuasa terlebih dahulu sebelum
membuat celurit. Kepercayaan terhadap kekuasaan Tuhan merupakan nilai etika
terhadap Sang Pencipta. Dengan kepercayaan dan kepatuhan demikian, seorang
pandai besi mempunyai pandangan bahwa manusia—walaupun sudah bisa menciptakan
celurit—merupakan makhluk yang lemah tanpa pertolongan dari-Nya.
Kedua,
nilai estetikanya penulis sependapat dengan pandangan puisi yang terdapat dalam
puisinya Pak De—panggilan akrab untuk penyair Madura: D. Zawawi Imron,
bertajuk: “Celurit Emas”,
Bila
musim melabuh hujan tak turun,
kubasahi
kau dengan denyutku.
Bila
dadamu kerontang,
kubajak
kau dengan tanduk logamku.
Di
atas bukit garam kunyalakan otakku.
Lantaran
aku tahu, akulah anak sulung
yang sekaligus
anak bungsumu.
Aku
berani mengejar ombak.
Aku
terbang memeluk bulan.
Dan
memetik bintang gemintang
di ranting-ranting
roh nenek moyangku.
Di
bubung langit kuucapkan sumpah.
Madura,
akulah darahmu.[20]
Untuk
memahami puisi ini, cobalah renungkan! Karena pemahaman terhadap suatu karya
sastra memang sangat subjektif, sehingga dapat memiliki interpretasi berbeda,
bahkan terkadang menimbulkan pertentangan ideologis, psikis dan paradigma
berfikir tentang suatu karya dan maknanya.
Bagian
akhir, kedua objek afirmasi (keris dan celurit) ini hanya bagian kecil dari
keberagaman budaya di Madura. Masih banyak kebudayaan yang perlu dikuak secara
substansial dan esensial demi menegaskan eksistensinya di tengah masyarakat
melalui metode afirmasi yang sederhana ini, khususnya pada aspek nilai etika
dan estetika kebudayaan Madura. Sehingga, jika semua kebudayaan dapat
diafiramsi secara masif, impian menyelamatkan kebudayaan Madura dari gempuran
globalisasi akan menjadi kenyataan.
BAB III PENUTUP
DISKEBURA; SARANA
AFIRMASI NILAI KEBUDAYAAN
Di bagian
penutup ini, penulis mencoba menawarkan suatu alternatif solusi dalam
menyelamatkan keutuhan nilai yang dikandung dari kebudayaan masyarakat di Madura.
Sebab, metode tanpa gerakan praksis sama halnya hanya ‘mengukir di atas air’;
manfaatnya tidak akan dirasa. Untuk menyiasatinya, guru penulis pengajar
sosiologi (Bapak Damanhuri, M. Ag.) pernah menjelaskan tentang saluran-saluran
perubahan sosial (avenue or channel social of change), yaitu: lembaga
kemasyarakatan (social institution).[21]
Dalam social institution ini, yang menempati posisi tertinggi adalah
lembaga pemerintahan yang bergerak di bidang pembangunan masyarakat.
Oleh
karena itu, jika di Kabupaten Sumenep didirikan lembaga kemasyarakatan bernama DISPARBUD
(Dinas Pariwisata dan Kebudayaan) yang—menurut hemat penulis—gerakannya kurang
dirasa secara luas karena hanya bergerak di bidang penyuluhan aspirasi bagi
masyarakat tentang bagaimana mengadakan sebuah acara yang berkaitan dengan
pariwisata dan budaya. Maka, di Madura setidaknya juga harus didirikan lembaga
kemasyarakatan yang bernama DISKEBURA (Dinas Kebudayaan Madura). Hal ini
penulis anggap penting untuk direalisasikan, sebagai bentuk keperihatinan
pemerintah kepada kebudayaan Madura yang kini mulai tergilas zaman.
Dengan
didirikannya DISKEBURA, setidaknya ada beberapa misi yang perlu
direalisasikannya: pertama, mencari dan kemudian menetapkan kebudayaan Madura
yang dinilai unik dan dapat menjadi ikon bagi keberlangsungan masyarakat. Ini
adalah langkah pertama dalam menegaskan kebudayaan-kebudayaan, utamanya
mengenai nilai-nilai ashlah dan unik yang terkandung di dalamnya.
Kedua,
meneliti akar sejarah muculnya semua kebudayaan yang lahir dari masyarakat Madura.
Upaya ini mengindikasikan adanya penemuan nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan
tersebut. Kemudian, setelah semua nilai kebudayan itu ditemukan, maka harus
diabadikan, baik melalui buku sejarah maupun papan kebudayaan yang harus ada
dalam kantor DISKEBURA.
Ketiga,
sosialisasi kebudayaan pada masyarakat luas. Ini bisa melalui channel-channel
TV (semisal Madura Channel, JTV dsb.) dan koran-koran (semisal Radar Madura).
Tujuan dari sosialisasi ini adalah untuk menggugah kesadaran masyarakat akan
arti penting mempertahankan dan menyelamatkan kebudayaan yang ada di Madura dari
gempuran arus globalisasi yang makin mencekik.
Solusi
mendirikan sebuah lembaga kemasyarakatan (DISKEBURA) yang khusus bergerak di
bidang afirmasi dan pengabadian nilai kebudayaan Madura, sebenarnya merupakan
mimpi penulis yang bisa dianggap “liar”. Akan tetapi entah kenapa di benak
penulis, jika hal ini direalisasikan maka akan tercipta masyarakat yang berbudaya,
berkarakter, berpolaprilaku yang sesuai dengan koridor agama dan sosial, dan
tidak mudah goyah karena gempuran “zaman baru” yang diproduksi oleh era
globalisasi. Wallahu A’lam bisshawab.
*)tulisan ini diikutkan pada lomba menulis artikel yang
diadakan oleh panitia Sains Education Community (SECO) Universitas Wiraraja,
dan menjadi Finalis dalam lomba tersebut.
[1]
Globalisasi adalah sebuah istilah yang lahir dari dinamika international yang
mengindikasikan adanya integrasi secara global dalam bidang ekonomi, budaya dan
politik (lihat: Andi Widjajanto, Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, (Yogyakarta:
2007), hal. 01
[2]
Kebijakan global menurut Chadwick Alger berintikan kepada dua definisi nilai
global, yakni ‘perdamaian’ dan ‘pembangunan’ yang secara luas konsekuensinya
adalah kondisi ketiadaan rasa damai (peacelessnes). Ibid. hal. 06
[3] Guru materi
Etika penulis di MA 1 Annuqayah (K. M. Mushthafa, M.A.) pernah menjelaskan
bahwa kebudayaan Barat (utamanya yang diproduksi dari Amerika) sangat
berlawanan dengan semangat kebudayaan lokal, terutama dalam hal norma agama di Madura
yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam.
[4] Lebih
jelasnya, tuntaskan pada artikel di web online, Nilai Etika dan Estetika
dalam Kebudayaan, http://kurnirasari95.blogspot.com/2008/10/nilai-etika-dan-estetika-dalam.html
[5] Keempat kandungan
kebudayaan ini, adalah sesuai dengan kebudayaan dan karakter masyarakat Madura yang
pada umumnya dipraktikkan dengan cara spiritual oleh kyai wara’ di Madura.
(lebih jelas tuntaskan pada: Anonim, http://cyber07130003.wordpress.com/2009/02/06/apakahcarok-budaya-orang-madura,
Simbol Carok dan Fakta)
[6] Nampah
Cangkem (bahasa Madura) adalah meletakkan tangan di bawah dagu dan, biasanya,
matanya menatap kosong sehingga terkesan seperti orang yang kehilangan ghiroh
dalam menjalani kehidupan. Ini sebenarnya bukan kebudayaan, tetapi salah satu
tradisi yang memiliki makna filosofis jika dikaitkan denga kehidupan masyarakat
Madura.
[7] Kalau nampah
cangkem, memang kenapa?!
[8] Lebih
jelas, tuntaskan pada: Budiono, MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya:
2005), hal. 19. Tidak jauh berbeda dengan M. Dahlan Al-Barry dalam Kamus
Ilmiyah Populer, hal. 9 yang menjelaskan bahwa afirmasi adalah penegasan;
peneguhan dan pengakuan.
[9] Keris
merupakan salah satu kebudayaan Madura yang, entah kenapa, kurang diminati oleh
mayoritas masyarakat dibandingkan dengan Kerapa Sapi, Sapi Sono’ dan lainnya.
Parahnya, masyarakat Madura melihat kebudaan hanya dari aspek gerak, bukan pada
pengaktualisasian suatu kebudayaan yang sebenarnya juga memiliki nilai ashlah
bagi kehidupan. Sehingga akan memberikan dampak psikogis bagi para “produsen”
keris—terutama karena tuntuan ekonomi.
[10]
Mengenai keris Madura sebenarnya ada perbedaan dari keris Jawa umumnya.
Perbedaan itu terlihat pada nilai estetika yang ada pada kedua keris (Madura dan
Jawa) itu. Lebih jelas, tuntaskan pada: RB. Ahmad Ramadan, Keris dalam
Budaya Masyarakat Madura di artikel online http://www.facebook.com/topic.php?uid=218949248212&topic=10865
[11] Pojja
bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh kesaktian dan kegunaan yang dipunyai
oleh besi yang akan dibuat keris. Tentunya melalui kepercayaan sepenuhnya
kepada Tuhan. Ibid.
[12] Penyempuhan
adalah memasukkan racun ke dalam keris dan sang empu mengatakan sepatah-dua
patah kata, seperti: selamat, jaya, kaya dan lain sejenisnya. Hal ini bertujuan
agar keris itu berguna bagi para pemakainya seperti kata-kata yang digunakan
oleh sang empu. Ibid.
[13]
Kesatria adalah sebuah keperibadian yang dimiliki seorang—yang sejajar dengan
seorang pahlawan karena prilakunya yang baik dan menjadi “pioner” di
tengah-tengah masyarakat. Kesatria juga bisa diartikan dengan pembela yang
berjiwa besar dan berbudi luhur. Masyarakat kesatria bukan hanya terpaku pada
masyarakat grass roots, tetapi juga pemerintah sebagai agen sentral.
[14] Arit
adalah pisau yang berbentuk melengkung yang sering dipakai oleh masyakat petani
untuk memotong rumput di sawah.
[15] Agar
lebih jelas, tuntaskan pada: Soedjatmko dan Bambang Triono, berjudul CeluriiiiiiiTTTTTT,
di alamat ini: http://maduracenter.wordpress.com/2007/07/14/celuriiiiiiitttttt/
[16]
Misalnya di perguruan Joko Tole. Celurit tidak sekadar digunakan untuk
melumpuhkan lawan. Tetapi lebih dari itu, seorang pemain silat harus memiliki
batin yang bersih dengan berlandaskan agama. Ibid.
[17]
Paterongan adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Galis, sekitar 40
kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Op. Cit.
[18] Tombuk
adalah suatu bantalan yang digunakan untuk menempa besi setelah dipanaskan dan
menjadi lempengan berbentuk celurit.
[19] Not.
Id.
[20] Dikutip
secara bebas dari artikelnya Soedjatmoko dan Bambang Triono, berjudul:
CeluriiiiiiiTTTTTT, di alamat ini: http://maduracenter.wordpress.com/2007/07/14/celuriiiiiiitttttt/
[21] Menurut
Soerjono Soekanto (1982), lembaga kemasyarakatan (social institution)
adalah himpunan daripada norma-norma dari segala tingkatan yang pada suatu
kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Lembaga-lembaga kemasyarakatan
(meliputi pemerintahan, organisasi keagamaan, organisasi ekonomi, organisasi
pendidikan dan keluarga) sebenarnya merupakan sistem yang saling terintegrasi.
Lebih terang, tuntaskan pada: Atik Catur Budiati, Sosiologi Kontekstual,
(Surabaya: 2009), hal. 33
DAFTAR BACAAN
Buku:
Bouvier,
Helene. 2002. Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Budiati,
Atik Catur. 2009. Sosiologi Kontekstual. Surabaya: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional.
Dahlan
Al-Barry, Muhammad. 2005. Kamus Ilmiyah Populer. Surabaya: ARKOLA.
Kuntowijoyo.
2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Liliweri,
Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.
Ma, Budiono.
2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung.
Widjajanto,
Andi. 2007. Transnasionalisasi Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS.
Website:
http://kurnirasari95.blogspot.com dengan judul artikel: Nilai Etika
dan Estetika dalam Kebudayaan
http://cyber07130003.wordpress.com dengan judul artikel: Simbol
Carok dan Fakta
http://www.facebook.com dengan judul
artikel: Keris dalam Budaya Masyarakat Madura, yang ditulis oleh RB. Ahmad
Ramadan.
http://maduracenter.wordpress.com dengan judul artikel: CeluriiiiiiTTTTTT,
yang ditulis oleh Soedjatmoko dan Bambang Triono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar